Jakarta (ANTARA News) - Tak ada hujan tak ada angin, para pendukung Timnas Kroasia melemparkan kembang api ke dalam lapangan dan berkelahi satu sama lain justru ketika tim kesayangan mereka tengah unggul 2-1 melawan Republik Ceko di St-Etienne Jumat malam lalu.
Akibat ulah mereka, pertandingan dihentikan sesaat, namun insiden itu kadung merusak konsentrasi tim Kroasia sehingga Ceko pun bisa menyamakan kedudukan. Kemenangan sudah di depan mata pun menguap entah ke mana. Padahal jika saat itu menang, Kroasia melenggang ke babak knockout Euro 2016.
Kini perjalanan mereka menjadi sangat berat karena lawan terakhir yang mesti mereka hadapi pada fase grup adalah sang juara bertahan nan perkasa Spanyol.
Mengapa pendukung Kroasia merusak kemenangan timnya sendiri? Tak ada yang tahu pasti alasannya, namun koran Inggris The Guardian menyebutkan ini terjadi karena banyak orang Kroasia yang terasing dari tim nasional.
Mereka mengaku sudah kehilangan kepercayaan kepada Federasi Sepak Bola Kroasia (CFF) karena badan sepak bola ini sudah dijangkiti korupsi akut.
Wakil presiden CFF, Zdravko Mamic, didakwa menggelapkan uang dari Dinamo Zagreb ketika dia menjadi kepala eksekutif di sana. Damir Vrbanovic, direktur eksekutif CFF, juga didakwa menjadi kaki tangan dalam kasus sama.
Tahun lalu, keduanya ditahan (Mamic dua kali ditahan begitu investigasi korupsi diperluas) karena kekhawatiran ada orang yang berusaha mempengaruhi para saksi. Akhirnya, Mamic diberhentikan dari posisinya di Dinamo oleh pihak berwenang namun jabatan kedua orang itu di CFF dipertahankan. Keduanya bahkan menempati lounge VIP saat laga Kroasia melawan Ceko itu.
Banyak orang Kroasia yang merasa tim nasional mereka telah dibajak oleh kedua orang itu, sedangkan mantan bintang sepak bola Davor Suker, sang presiden CFF dianggap sebagai boneka kedua orang itu, selain sapi perah untuk menghasilkan uang.
Mamic dan Vrbanovic membantah tudingan ini. Mereka sudah lama berusaha dijatuhkan melalui jalur hukum.
Sementara itu para pendukung radikal begitu terpikat pada kebencian terhadap CFF sehingga tak peduli ulah mereka merugikan timnasnya sendiri.
Kenyataanya, lebih dari sekadar itu. Mereka kini secara aktif berusaha menyabotase timnasnya karena merasa tekanan internasional adalah satu-satunya cara untuk mengubah sepak bola Kroasia.
Pemikiran seperti ini pula yang berada di balik insiden Stadion Poljud di Split pada Juni 2015 ketika seseorang mencat swastika (lambang Nazi) di lapangan sebelum laga kualifikasi Euro 2016 melawan Italia. Pertandingan ini sendiri harus digelar tanpa penonton akibat kerusuhan penonton sebelumnya.
Tujuan mereka mempromosikan praktik lebih demokratis dan transparan dalam sepak bola domestik, namun metode mereka sama sekali salah. Pendukung lainnya yang masih mendukung timnas, baku hantam dengan para radikal setelah kembang api dilemparkan ke dalam lapangan. Ini menyedihkan.
Para pemain dan staf pelatih mengungkapkan kekecewaan mendalam mereka. Bagaimana tidak, Kroasia saat itu bisa mencetak empat poin setelah dua kali bertanding namun tidak seorang pun yang mengira akan 2-2 melawan Republik Ceko.
"Mungkin akan lebih baik jika kami sama sekali tidak bermain," kata Ivan Perisic yang menciptakan gol pembuka Kroasia. "Mungkin itu sebenarnya yang lebih baik jika kasus seperti ini terjadi setiap kali kami bermain."
Sedangkan pelatih Kroasia Ante Cacic berkata, "Kita semua bertanggung jawab. Jangan ada yang cuci tangan dari insiden ini."
Dia benar, tidak ada yang dimenangkan oleh pihak berwenang yang tidak mengendalikan situasi buruk ini. Yang menakutkan adalah semua ingin menang sendiri, entah pejabat puncak CFF, entah ultras (penonton rusuh) yang jijik terhadap prilaku pembesar CFF.
Jika sudah begitu, yang dirugikan adalah pemain dan pendukung yang hanya ingin tim nasional mereka bangkit.
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016