Kasus peledakan bom oleh teroris misalnya, mungkin diakibatkan ketidaksabaran dan paham radikal dari orang-orang yang memiliki tujuan tertentu, bisa saja berupa keinginan meniadakan tempat-tempat maksiat, tapi dengan mengorbankan banyak nyawa manusia. Tentu cara-cara seperti itu kontradiktif dengan cara ber-amar maruf (perintah berbuat baik) yang semestinya harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan cara yang maruf/baik pula.
Ada juga perbuatan para pecandu narkoba. Mereka ingin mencari ketenangan hidup, tapi dengan jalan pintas yang sesungguhnya membuat bayaha (mudharrat) kepada dirinya sendiri. Tuntunan Ilahi bahwa bila jiwa ingin tenang, maka harus banyak berzikir, ternyata tidak mereka lakukan.
Begitu pula para pelaku pemerkosaan. Mereka tidak kuat menahan hawa nafsu dan akhirnya jatuh ke liang dosa besar, padahal hubungan laki-laki dan perempuan yang dijalin dengan ikatan pernikahan akan menjadi ladang pahala bagi keduanya.
Dalam ajaran Islam, setidaknya ada tiga macam kesabaran. Pertama, "al-shabru ala thaatillah", yakni sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Shalat dan puasa kita sebenarnya adalah implementasi dari kesabaran untuk taat kepada Allah.
Firman Allah SWT, "Ya ayyuha al-ladzina aamanu istaiinu bi al-sabri wa al-shalati, Innallah maas shaabiriin" (Wahai orang-orang yang beriman, mintalah tolong kamu dalam hal kesabaran dan shalat, karena Allah selalu bersama orang yang sabar).
Kedua, "al-sabru ani al-mushibah atau bala". Kisah Nabi Ayyub dalam al-Quran disebutkan : "Dan ingatlah kisah Nabi Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Lalu Allah berfirman, "Kami pun memperkenankan seruan itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada pada Ayyub, dan Kami kembalikan dia pada keluarganya, dan Kami lipatgandakan bilangan mereka sebagai suatu rahmat dari sisi kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.".
Dari kisah Nabi Ayyub dapat kita petik hikmah, bahwa cobaan dari Allah yang kerapkali menimpa hamba-Nya terkandung rahasia, bisa saja merupakan awal turunnya rahmat Allah atau karena hamba tersebut sudah tidak mau lagi dekat dengan Tuhannya.
Bulan Ramadhan, bulan yang penuh rakhmat dan ampunan Tuhan, semestinya dijadikan manusia sebagai momentum untuk melakukan taubat kepada Allah SWT. Pada bulan ini terdapat malam yang diberi nama "Lailat al-Qadar" (Malam seribu bulan).
Menurut pandangan para ulama, Lailat al-Qadar datang pada malam pertengahan dan akhir Ramadhan, terutama pada malam ganjil dari malam 17 sampai 29.
Barangsiapa yang berdoa dengan rasa rendah diri (tadarruan), hanya mengharap pemberian Allah (thamaan) dengan khusyuk di malam hari, niscaya Allah akan mengabulkan doanya. Pertanyaannya, bisakah kita berdoa dengan cara seperti itu? Tentu bisa, asalkan mau melatih diri dan istiqomah.
Ketiga, "al-sabru ani al-mashiyyah", yakni sabar untuk tidak melakukan kemaksiatan. Anjuran Allah agar kita menjaga mulut, mata, telinga, dan anggota tubuh lainnya untuk tidak berbuat dosa, sebenarnya melatih kita untuk bersabar agar tidak melakukan dosa. Semua adalah proses tazkiyatul al-nafsi (membersihkan jiwa). Selain bersih secara lahiriyah, kita juga dituntut untuk bersih dari hal yang bersifat batiniyah.
Melalui "riyadlatul al-nafsi" (pelatihan jiwa) dengan menjaga jawarih atau anggota badan kita yang luar dari perbuatan kotor dan keji, maka akan berimplikasi pada proses pensucian jiwa. Jelasnya, hati yang dulunya kotor akibat perilaku jawarih (anggota tubuh), kemudian menjadi bersih. Sebab, kebersihan hati dan jiwa akan bermanifestasi pada sikap dan perilaku dhahir. Di sinilah harapan yang kita idamkan bahwa secara dhahir, batin kita juga ingin bersih.
Dengan demikian, amaliah kita akan selaras dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, "Man uthiya fasyakara, wabtuliya fashabara man ya rosulullah ? Qala ulaaika lahum al-amnu wahum muhtadun". Artinya, bahwa orang yang aman, selamat, dan diberi petunjuk itu adalah orang yang bila diberi nikmat ia bersyukur, bila melakukan kedzaliman ia minta ampun, bila didzalimi ia mengampuni. Para sahabat lalu bertanya, "Siapa dia, Ya Rasulullah? Jawab Nabi SAW: "Dia adalah orang yang aman dan diberi petunjuk Allah".
Fakta menunjukkan, banyak manusia yang diberi nikmat oleh Allah, tapi nikmat tersebut tidak disyukuri, malah dibuat untuk melakukan kemaksiatan, perusakan, dan tindakan-tindakalan lain yang merugikan orang lain atau hanya untuk kesombongan di atas komunitas orang banyak. "Na'udzubillah". Semoga kita senantiasa diberi petunjuk dan kekuatan untuk mengamalkan tiga kesabaran tersebut.
*) Penulis adalah Pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam, Sukorejo, Bangsalsari, Jember, Jawa Timur.
(A015/E011)
Pewarta: HM Misbahus Salam *)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016