Jakarta (ANTARA News) - Setahun setelah bertualang menjelajahi samudra bersama ikan badut Marlin untuk menemukan putra semata wayangnya, Nemo, yang dibawa oleh penyelam dan berakhir di akuarium klinik dokter gigi di Sydney, Dory si ikan Blue Tang mendadak teringat pada asal-usulnya.
Sedikit demi sedikit, kepingan-kepingan masa lalu muncul di kepala Dory. Ikan ceria dan optimistis yang hilang ingatan jangka pendek itu baru sadar bahwa ia punya keluarga yang hilang sejak lama.
Dalam film "Finding Nemo" (2003), ikan yang perhatiannya mudah terdistraksi itu berperan penting dalam membantu Marlin menemukan Nemo berkat kenekatannya di laut lepas.
"Just Keep Swimming" alias "Teruslah Berenang" menjadi motto hidup Dory yang membuat dia dan Marlin bisa melewati geng hiu vegetarian, ikan sungut ganda (anglerfish) ganas di laut dalam, sekumpulan ubur-ubur penuh sengat, hingga keluar dari tubuh paus.
Sementara "Finding Dory" mengeksplorasi masa lalu Dory serta kisah di balik bakat unik yang dimilikinya, misalnya kemampuan berkomunikasi dengan paus.
Andrew Stanton ("Finding Nemo", "Wall E") kembali untuk menyutradarai "Finding Dory".
"Saya sendiri selalu memiliki banyak ide mengenai cerita tentang masa lalu Dory, dan dari situ kami memutuskan sudah waktunya untuk mengeksplorasi hal itu," kata dia.
Petualangan baru
Sama seperti pendahulunya, "Finding Dory" dibuka dengan perpisahan mengiris hati. Akibat sifatnya yang pelupa, Dory tak sengaja melanggar larangan sang ayah sehingga ia terbawa arus ke antah berantah.
Dory kecil yang pantang menyerah berenang melewati berbagai kumpulan spesies ikan sembari tak henti menanyakan keberadaan orangtuanya. Hasilnya nihil. Ingatan ikan betina itu tentang keluarganya semakin terkikis seiring berjalannya waktu.
Dory yang telah tumbuh dewasa berkeliaran sendirian. Hingga ia bertemu dengan Marlin, ikan badut yang sedang mencari putranya Nemo.
Setahun setelah petualangan bersama Marlin dan Nemo, ketiganya hidup bertetangga di Karang Penghalang Besar (Great Barrier Reef), terumbu karang terbesar di dunia.
Ketika ingatan tentang orangtuanya muncul tiba-tiba, secara impulsif Dory memutuskan untuk mencari ayah dan ibunya meski tak tahu harus kemana.
Marlin dan Nemo ikut menemani karena tak bisa membiarkan ikan pelupa nan teledor itu berkelana sendirian di laut lepas.
Saat napak tilas, Dory menemukan petunjuk-petunjuk yang membawanya ke Institusi Biota Laut (Marine Life Institute), pusat rehabilitasi ikan dan akuarium di California.
Dengan bantuan dari kawan-kawan baru, Hank si gurita galak berkaki tujuh, Bailey si paus beluga yang tidak yakin terhadap kemampuan pendengaran sonarnya, Destiny si hiu paus yang rabun dekat, juga dua singa laut jenaka yang berteman dengan burung nyentrik.
Versi sulih suara bahasa Indonesia
Disney juga menghadirkan versi film dengan sulih suara bahasa Indonesia untuk film yang diterjemahkan menjadi "Mencari Dory" agar bisa dinikmati penonton dari segala usia.
"Mencari Dory" bukan sekadar versi terjemah dari "Finding Dory". Disney mengadaptasi beberapa bagian untuk menonjolkan unsur Indonesia.
Bahasa Inggris slang yang dipakai kawanan penyu berubah jadi logat Madura yang medok. Maria Oentoe, yang suaranya selalu terdengar dalam pengumuman di bioskop Cinema 21, juga berpartisipasi dalam "Mencari Dory".
Selain menggaet para pengisi suara profesional, Disney mengajak Raffi Ahmad dan Syahrini untuk menghidupkan karakter pendukung Bailey dan Destiny.
Fitra Rifai, Head of Studios Marketing, The Walt Disney Company Indonesia, memilih dua selebriti terkemuka itu karena dianggap sesuai dengan karakter tokoh paus beluga dan hiu paus.
"Destiny punya sisi unik paling tinggi dalam film ini dan itu ada di sosok Syahrini," tutur Fitra.
Ia menambahkan kepribadian Bailey yang menyenangkan juga terlihat dalam diri Raffi Ahmad.
Meski tidak mendapat latihan profesional, usaha Syahrini patut diacungi jempol. Ia berhasil memberi sentuhan kenes dan manja lewat suara seraknya. Desahan yang jadi ciri khas Syahrini tidak terdengar berlebihan, justru menambah kekocakan Destiny.
Bagi Raffi, mengisi suara untuk film animasi lebih menantang ketimbang berakting di depan layar. Selain harus menyesuaikan intonasi dan emosi dari suara asli, semua harus persis dengan gerak bibir karakter.
"Pas jadi dubber, harus ngepas-pasin banget. Kalau enggak sabar bisa frustrasi," tutur Raffi.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016