Jakarta (ANTARA News) - Pers harus meningkatkan perannya untuk menggerakkan sektor ekonomi riil di Indonesia yang selama ini belum berjalan secara signifikan. "Seringkali kita mendengar dari pers nasional, bahwa sektor riil mandeg atau terhenti, karena tidak ada dana yang mengalir ke dalamnya," kata Pendiri dan Ketua Lembaga Studi Kapasitas Nasional (LSKN) Hartojo Wignjowijoto, dalam seminar sehari yang dilaksanakan oleh PWI Jaya di Jakarta, Kamis. Ia mengisyaratkan, secara sederhana, kehidupan ekonomi Indonesia kini seperti halnya kondisi badan kita. Kalau pikiran manusia sehat, dan terjadi pengentalan aliran daran maka dengan sendirinya secara fisik dan mental menjadi tidak sehat. Hidup perlu gizi, olah raga sesuai dengan pepatah lama "Men sana in corporo sano. Artinya, hanya pikiran sehatlah yang dapat bersemayam dalam tubuh. Oleh karena itu, kata Hartoyo, pers jangan hanya menjadi perekam berita dan pencatat suasana. Tetapi harus dapat memainkan peran ketika fungsi perbankan sakit, Bank Indonesia tidak berfungsi, sehingga sektor riil menjadi macet. "Sama halnya hidup kekurangan darah karena ada organ yang tidak berfunsi," katanya seraya menambahkan, disitulah peran pers harus lebih kritis. Seminar yang mengambil tema Peran Pers Dalam Pembangunan Ekonomi dan Politik Menuju Masyarakat yang adil dan berkemakmuran itu, hadir antara lain, Dr Sofyan Djalil, menteri Komunikasi dan Informasi yang dalam hal ini diwakili D Susilo Hartono, Deputi bidang Pengkajian Sumberdaya UKM Departemen Kopoerasi, Wayan Suardja, dan pengamat ekonomi Oppu Sunggu, dengan moderator, Sekretaris LKBN ANTARA, Rajab Ritonga. Menurut Hartoyo, pers harus menggunakan kemampuan analitis dan investigatifnya terhadap suatu masalah jangan hanya menjadi alat perekam keadaan. "Pers nasional adalah tangan kedua dari sejarah atau jarum pendek dari perjalanan sejarah kegiatan sosial, budaya, politik, perekonomian, teknologi dan kelembagaan," kata dia. Ia mengatakan, selama ini pemerintah telah banyak menebarkan kebohongan publik kepada masyarakat banyak. "Kita pernah mendengar penjelasan pemerintah, bahwa kondisi ekonomi makro stabil, inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi hampir enam persen dan cadangan devisa terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia, yaitu 40 miliar dolar AS," ujarnya, seraya menambahkan, semua itu merupakan kebihongan publik karena faktanya tidak seperti itu. "Lha wong angka itu dapat direkayasa, karena itu sering terdengar antara angka inflasi ata pertumbuhan ekonomi dari departemen satu dengan lembaga lainnya tidak singkron," katanya. Padahal, ujar dia, nilai dolar AS telah merosot 60 persen, sehingga tinggal 40 persen dari 40 miliar dolar AS atau sama dengan 16 miliar. "Pemerintah juga membanggakan merosotnya rasio utang dengan GNP/produk nasional bruto yang telah merosot hingga 40 persen disamping bangga kegiatan pasar modal yang menanjak terus," ucapnya. "Padahal tidak ada likuiditas dan tidak ada kenaikan kegiatan IPO atau "Go Public," katanya. Pemerintah yang memimpin sekarang, ucapnya, seharusnya memiliki kapasitas yang baik untuk menggerakan sektor riil, karena sektor tersebut adalah penggerak utama perekonomian bangsa ini. "Keterbatasan kapasitas ini semakin intensif karena tim ekonomi di pemerintahan mengikuti mazhab neo-klassik dan berkiblat pada kepentingan kreditor ataupun IMF serta Bank Dunia sekalipun Indonesia telah membayar hutang ke IMF dan bahkan CGI sudah dibubarkan," ujar dia. Kondisi sektor riil yang mandeg tersebut, katanya, salah satunya juga disebabkan arus dana yang mengalir ke perbankan, baik di daerah maupun di kota besar 80 persennya mengalir ke Jakarta, khususnya ke Bank Indonesia. "Kita harus melihat bank-bank nasional yang telah dibeli orang asing pun lebih suka membeli SBI atau Sertifikat Bank Indonesia, ketimbang mengucurkan pinjaman investasi, minimal pinjaman modal kerja," ujarnya. Secara kongkrit untuk dapat menggerakkan sektor riil, kata Hartojo, pers jangan ikut menyebar luaskan berita kebohongan publik tersebut. Sementara itu, Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi, Wayan Suarja mengatakan pers seharusnya tidak hanya memberitakan, tetapi juga menjadi alat penggerak dari sektor riil yang ada di masyarakat. "Pers harus terus menerus melakukan pemberitaan guna menekan pihak-pihak yang berkepentingan agar kebijakan yang merugikan UKM atau sektor riil dapat segera ditarik," ucapnya. Selain itu, tambahnya, pers juga dapat menjadi media promosi bagi kalangan UKM terhadap produk-produk mereka.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007