Omar Mateen, yang ditembak mati oleh polisi setelah kebuntuan tiga jam Minggu pagi lalu, meninggalkan jejak kusut kemungkinan motif. Dia juga menelpon polisi selama beraksi untuk menyuarakan kesetiannya kepada sejumlah kelompok militan Islam.
Penyidik federal mengatakan Mateen kemungkinan seorang yang radikal, namun tidak ada bukti bahwa ia menerima instruksi atau bantuan dari kelompok seperti ISIS. Mateen, 29 tahun, adalah seorang warga negara AS, yang lahir di New York dari orangtua imigran Afghanistan.
"Dia sepertinya telah menjadi seorang pemarah, terganggu, lelaki muda tidak stabil yang menjadi radikal," kata Presiden Barack Obama setelah pertemuan dengan Dewan Keamanan Nasional.
Seorang pejabat yang akrab dengan penyelidikan kasus itu, mengatakan bahwa penyidik hanya mulai menyelidiki isi ponsel Mateen dan perangkat elektronik lainnya.
Kepada Reuters sumber itu mengatakan bahwa mereka percaya Mateen mengakses materi militan Islam di Internet selam dua tahun atau lebih sebelum penembakan Orlando.
Serangan terhadap klub malam Pulse di pusat Kota Florida merupakan penembakan massal mematikan dalam sejarah AS modern, dan serangan terburuk terkait komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Segera setelah serangan itu ayah Matten mengindikasikan bahwa anaknya telah memendam perasaan anti-gay yang kuat. Dia menceritakan kejadian saat anaknya marah ketika melihat dua pria berciuman di pusat Kota Miami saat keluar bersama istri dan anaknya.
Angel Colon, yang berada di Pulse bersama teman-temannya pada saat serangan Mateen, menggambarkan mendegar tembakan dan ia jatuh karena ditembak kakinya.
"Aku tidak bisa berjalan sama sekali," kata Colon di Orlando Medical Center, di mana ia adalah salah satu dari 17 korban yang dirawat.
"Yang bisa saya lakukan adalah berbaring. Orang-orang berlari di atas saya," katanya dikutip oleh Reuters.
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016