Jakarta (ANTARA News) - Maarif Award 2016 dianugerahkan kepada Budiman Maliki, Rudi Fofid dan Mosintuwu Institute yang dinilai menginspirasi dalam merawat kebhinekaan, merekatkan integrasi sosial dan menggelorakan perdamaian di Poso dan Ambon.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ulhaq saat konferensi pers di Jakarta, Minggu, mengatakan para penerima Maarif Award 2016 merupakan para pejuang dalam jalan sunyi yang jauh dari hingar bingar publikasi.
Menurut dia, ketiga penerima tersebut sangat tepat dengan konteks yang terjadi saat ini, rekonsiliasi dengan masa lalu untuk menjadi pijakan yang lebih baik di masa depan. Hal ini sesuai tema yang diambil dalam Maarif Award 2016, memulihkan luka dan merawat solidaritas sosial bangsa.
Ia menambahkan, Maarif Award yang digelar sejak 2007 tersebut merupakan upaya menemukan orang-orang biasa dengan karya sosial dan kemanusiaan yang luar biasa.
Anggota Dewan Juri Endy Bayuni mengatakan, dalam Maarif Award kali ini, ketiganya berhasil mentransformasikan semangat kebhinekaan dan keIndonesiaan sebagai perekat integrasi sosial.
Sementara itu, dalam kesempatan tersebut ketiga penerima Maarif Award juga hadir.
Rudi Fofid merupakan penyintas dari konflik kekerasan di Ambon yang telah merenggut ayah dan kakak perempuannya. Aktivis perdamaian menjadi panggilan jiwanya. Ia menggelorakan perdamaian dan menerobos sekat-sekat primordial keagamaan. Menyuarakan jurnalisme damai dan kini banyak beraktivitas dalam seni yang menggelorakan perdamaian.
"Di saat konflik banyak media justru turut berperan sebagai provokator, ini sebenarnya yang perlu untuk dijauhkan," kata aktivis wartawan yang aktif mengkonter berbagai pemberitaan yang mengundang provokasi saat konflik Ambon tersebut.
Budiman Maliki, pejuang hak dasar layanan masyarakat Poso. Seorang aktivis yang pernah terlibat dalam rangka penanganan pengungsi konflik Poso. Aktivitasnya melampaui batas-batas peimordial agama dan etnis. Kini berkutat pada pemberdayaan masyarakat.
Mosinwutu Intitute, sebuah lembaga yang mentransformasikan kekuatan perempuan menjadi gerakan Pembaruan di Poso pascakonflik.
"Mosintuwu adalah bukti bahwa perempuan-perempuan penyintas konflik Poso mampu menjembatani konflik, mengurai dendam dan memahami perbedaan untuk kemudian bersama membangun Tanah Poso melalui desa," kata Angota Dewan Juri Endy Bayuni.
Pewarta: Muhammad Arief Iskandar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016