Jakarta (ANTARA News) - Revisi Undang-Undang (UU) Pilkada adalah kisah panjang tersendiri bagi sebuah proses demokrasi langsung di Tanah Air.
Tarik ulurnya terasa sangat melelahkan menuju pada sebuah produk revisi yang bisa benar-benar memuaskan semua pihak.
Saat pro dan kontra masih juga terjadi di meja wakil rakyat di Senayan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat sangat berharap beberapa isu krusial di dalamnya bisa disepakati dalam waktu yang lebih singkat.
Sebab menurut dia, kehadiran UU Pilkada di Indonesia sudah sangat ditunggu-tunggu untuk menjadi payung hukum dan panduan dalam pelaksanaan Pilkada serentak.
Presiden beberapa kali menggelar rapat terbatas di kantornya untuk secara khusus membahas tentang revisi UU Pilkada agar perubahan-perubahan yang diusulkan pemerintah bisa bersifat permanen dan tidak tambal sulam.
"Kita tidak lagi terjebak dalam politik jangka pendek, dan harus betul-betul memikirkan tujuan jangka panjang terutama untuk menjaga proses demokrasi," kata Presiden saat membuka rapat tersebut beberapa waktu lalu.
Ia ingin agar ke depan tidak lagi ada penggugat "judicial review" UU tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara khusus Presiden ketika itu menugaskan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo untuk berkomunikasi dengan DPR terkait isu-isu krusial yang masih tersisa agar dapat dibuat kesepakatan dan diputuskan.
"Saya juga meminta Mendagri untuk berkomunikasi dengan KPU terkait dengan perencanaan pilkada, terutama terkait dengan anggaran pilkada," kata Presiden.
Kepala Negara meminta agar revisi terhadap UU Pilkada bisa menjadi perisai demokrasi langsung termasuk menjadi pemandu bagi pelaksanaan Pilkada Serentak 2017 agar berjalan dengan damai aman dan demokratis seperti tahun lalu.
Calon Independen
Mendagri Tjahjo Kumolo yang mendapatkan penugasan khusus dari Presiden Jokowi memegang teguh amanat Istana untuk sejumlah hal penting.
Amanat yang dimaksud menjadi sikap resmi pemerintah yakni bahwa hal-hal yang berkaitan dengan revisi yang berangkat dari UU Nomor 1 Tahun 2015 yang sudah baik pelaksanaannya dalam Pilkada Serentak 2015 agar tidak diubah.
"Dan ini terbukti untuk calon independen tidak diperberat, sama, batas parpol tetap 20 dan 25, sama," kata Tjahjo.
Sedangkan untuk TNI/Polri, PNS termasuk anggota DPR/DPD ditetapkan harus mundur sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI/Polri, UU ASN, dan putusan MK untuk anggota DPR/DPD.
"Oleh karenanya sikap pemerintah tegas berdasar hasil konsultasi kami, kami juga laporkan apa yang menjadi aspirasi semua temen fraksi," katanya.
Sementara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly setelah rapat dengan Presiden fokus pada hal terkait dengan sengketa kepengurusan parpol yang terjadi pada Pilkada 2015.
Yasonna mengatakan pada Pilkada yang akan diikuti 101 daerah ini, Pemerintah tegas merujuk kepengurusan yang terdaftar.
"Pada pilkada serentak tahun lalu ada pendekatan politis dalam penyelesaiannya dalam pendaftaran, sehingga ada parpol yang harus mendaftarkan calonnya harus didukung oleh dua kepengurusan. Maka pada saat sekarang ini semua parpol yang hendak mencalonkan harus parpol yang telah terdaftar di Kementerain Hukum dan HAM," katanya.
Jika ada sengketa, maka sengketa itu akan diselesaikan sesuai dengan UU Parpol, yaitu mahkamah partai.
Mahkamah partai ini bersifat "final and binding" dan memang kembali ke Kementerian Hukum dan HAM.
"Kalau ada penyelesaian yang masih berlangsung di pengadilan, maka rujukan adalah kepengurusan parpol yang terdaftar terakhir kalinya," kata Yasonna.
Rapat Konsultasi
Revisi UU Pilkada yang akhirnya menemui titik akhirnya setelah disetujui untuk disahkan sebelumnya telah melalui jalan yang begitu berliku.
Sempat pada satu waktu ada "deadlock" yang terjadi lantaran tidak adanya titik temu dalam rapat antara Mendagri Tjahjo Kumolo dengan DPR RI.
Sampai akhirnya digelarlah rapat konsultasi antara Pimpinan DPR RI dengan Presiden Joko Widodo yang membahas revisi UU Pilkada dan UU Parpol di Istana Negara beberapa waktu lalu.
Pertemuan yang digelar akhir bulan lalu itu bertujuan untuk mencari solusi sekaligus menengahi revisi yang sudah disepakati oleh fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sebelumnya.
Perjalanan panjang itu pun menemui titik akhirnya ketika DPR dalam rapat paripurna pada 2 Juni 2016 mayoritas setuju agar RUU Pilkada untuk disahkan.
Sejumlah poin krusial di UU Pilkada tak berubah. Syarat calon independen tetap sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama misalnya dapat tetap mengikuti Pilkada DKI jika sudah mengantongi 534 ribu KTP dukungan warga Ibukota.
Lalu poin lainnya yang tak mengalami perubahan yakni terkait kewajiban anggota DPR/DPD/DPRD untuk mundur dari jabatannya saat maju di pilkada sebagaimana hal itu sudah diputuskan MK pada 2015.
Poin lainnya yang disahkan dalam UU tersebut terkait petahana yang maju di pilkada yakni bahwa para "incumbent" tidak perlu menanggalkan jabatannya kala maju dalam ajang pilkada.
Langkah berikutnya adalah memenuhi harapan Istana dan masyarakat di Indonesia bahwa UU Pilkada mampu menjadi perisai demokrasi di Tanah Air.
Oleh Hanni Sofia Soepardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016