Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan upaya terobosan baru perlu dilakukan untuk memberantas Tuberkulosis (TB) karena meski dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami penurunan namun jumlah kasus TB di Tanah Air masih tinggi.
"Temuan kasus TB tahun 2006 sebesar 74 persen, telah melampaui target WHO. Tapi itu juga menunjukkan bahwa sekitar 30 persen penderita masih tersebar dimana-mana dan bisa menularkan penyakitnya kepada orang lain, karena itu harus ada terobosan baru untuk mengatasinya," katanya di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, terobosan baru itu bisa berupa penerapan sistem penemuan kasus aktif (active case finding) dan perbaikan teknik diagnosis kasus.
Terkait dengan hal itu Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Departemen Kesehatan Rosmini Day menjelaskan sistem penemuan kasus aktif adalah strategi deteksi kasus yang dilakukan dengan menurunkan petugas kesehatan ke lapangan.
"Jadi mereka tidak hanya menunggu pasien datang ke Puskesmas, tapi turun ke lapangan, melakukan penyuluhan kepada masyarakat dan mencari kasus-kasus TB baru," ujarnya.
Kasus-kasus TB baru yang ditemukan, kata dia, lantas segera ditangani dengan memberikan pengobatan melalui program DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) kepada penderita yang bersangkutan serta memastikan setiap penderita menjalankan program pengobatan secara berlanjut selama enam hingga delapan bulan.
Semakin banyak kasus TB baru yang ditemukan dan ditangani, Rosmini melanjutkan, semakin kecil pula resiko penularan dan penyebaran TB dalam masyarakat.
Sementara terkait perbaikan teknik diagnosis TB, Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa metode diagnosis melalui pemeriksaan dahak (sputum) secara mikroskopis dengan indikator Bakteri Tahan Asam (BTA) positif sudah terlalu tua dan sensitifitasnya tidak rendah.
"Meski merupakan metode standar yang ditetapkan WHO tapi itu metode lama, sudah lebih dari 100 tahun, dan sensitifitasnya hanya sekitar 60 persen. Seharusnya kita bisa menggunakan metode yang lebih baik dan lebih efektif," ujarnya.
Namun demikian menurut Staf Medis Khusus Tuberkulosis WHO Firdosi Mehta, teknik diagnosis mikroskopis dengan indikator BTA positif merupakan teknik diagnosis yang dinilai paling efektif dan terjangkau oleh semua negara jangkitan.
"Kita punya kelompok kerja diagnosis di tingkat global yang melakukan evaluasi dan bekerja untuk meningkatkan kualitas teknik diagnosis TB. Teknik diagnosis mikroskopis dengan indikator BTA positif masih dianggap yang terbaik untuk saat ini," katanya.
Kelompok kerja diagnosis TB global tersebut, kata dia, kini juga tengah mengembangkan teknik diagnosis dan perangkat diagnosis cepat TB yang rencananya akan mulai diperkenalkan penggunaannya pada 2010.
Salah satu teknik diagnosis TB baru yang dinilai paling efektif dan memiliki sensitifitas tinggi, menurut Rosmini, adalah dengan teknik kultur.
"Tapi teknik itu memakan waktu lama, bisa sampai satu minggu dan biayanya sangat mahal," katanya.
Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa selama tahun 2006 Indonesia telah berhasil melampaui target pemberantasan TB yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
WHO hanya mentargetkan capaian temuan kasus (Case Detection Rate/CDR) 70 persen dan tingkat penyembuhan (Success Rate/SR) sebesar 80 persen namun CDR dan SR Indonesia tahun 2006 masing-masing mencapai 74 persen dan 89 persen.
Namun demikian jumlah kasus TB di Indonesia masih tergolong tinggi. Selama 2006, menurut data Departemen Kesehatan, jumlah total kasus TB yang ditemukan sebanyak 286.481 dengan rata-rata angka kejadian TB di Tanah Air masih 107 per 100 ribu penduduk.
"Di setiap daerah jumlah kasus juga sangat bervariasi. Di Jawa-Bali hanya 64 per 100 ribu, di Sumatera 160 per 100 ribu dan di kawasan Indonesia Timur 210 per 100 ribu penduduk," demikian Rosmini Day.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007