Dehradun, India (ANTARA News) - Pembakaran hutan dan pembalakan liar sejak akhir April di kawasan utara India, Uttarakhand dan Himachal Pradesh, mengancam kemajuan negeri itu menanggulangi dampak perubahan iklim.
Kebakaran hutan di dua wilayah itu merusak 26 ribu hektar hutan, bahkan menewaskan tiga jiwa, demikian ungkap pejabat setempat, lapor Reuters.
Insiden yang disebabkan para penyelundup kayu, pemburu liar, dan petani telah menjadi masalah khusus di tahun ini yang berujung pada tingginya suhu dan rendahnya curah hujan, terang para ahli.
Merujuk laporan Institut Nasional Manajemen Bencana India (NIDM) pada 2014, negara itu dalam skala nasional, kehilangan rata-rata satu hektar lahan tiap tahun karena dampak kebakaran.
Kerugian itu jika digabung dengan gelombang pembalakan liar menandakan India telah kehilangan hutan lebat dan agak lebat seluas 2.511 kilometer persegi sejak 2013, demikian laporan Survei Hutan Kementerian Lingkungan India pada 2015.
Hilangnya hutan menjadi kekhawatiran utama dari negara yang tengah mengurangi emisi penyebab perubahan iklim.
India menyatakan akan meningkatkan kemampuannya menyimpan karbon di hutan dan lahan senilai lebih dari tiga miliar ton pada 2030.
Misi itu dilakukan sebagai bentuk komitmen India dalam kesepakatan global menahan laju perubahan iklim, disetujui di Paris pada Desember.
Namun, aktivitas kejahatan lingkungan, cuaca ekstrim, dan informasi yang cacat menjadi hambatan India menuju negara yang lebih hijau, terang para ahli.
Terlebih, kasus di Uttarakhand cukup menggambarkan kesulitan India mencapai tujuan tersebut.
Tak Disengaja
Para ahli dan pegawai terkait urusan hutan di Uttarakhand mengungkap, kekeringan yang terjadi selaras dengan jumlah kebakaran hutan yang bertumbuh dalam bilangan eksponensial.
"Suhu tinggi yang cukup abnormal dalam dua tahun berturut-turut, berikut rendahnya curah hujan atau presipitasi telah mengubah kelembaban hutan Uttarakhand menjadi kawasan rentan terbakar," terang seorang petugas pemadam api hutan di Uttarakhand B.P Gupta.
Suhu di siang hari dari Oktober ke Mei tercatat dua derajat celcius lebih tinggi dari ukuran normal, mendominasi sekitar 70 persen hari, jelas Bikram Singh, Kepala Badan Meteorologi India.
Kawasan itu juga memiliki nilai curah hujan di bawah rata-rata pada 2014 dan 2015, tambahnya.
Adanya kondisi rentan terbakar itu, menjadikan para penyelundup kayu berharap api dapat menutup jejak pembalakan liar, begitu juga para pemburu liar yang menanti hewan keluar hutan, ditambah para petani yang melihat lahan kosong bekas terbakar itu sebagai peluang.
"Tidak ada yang dinamakan kebakaran tanpa disengaja," tegas Manoj Chandran pejabat untuk urusan hutan dan kesejahteraan sosial di Uttarakhand.
Nyaris seluruh insiden kebakaran disebabkan oleh manusia, terangnya.
"Terkadang penyelundup kayu menyulut api demi menutup jejak pohon yang terjatuh. Para kontraktor yang tidak mendapat kontrak ekstraksi pohon damar juga ambil bagian dari kebakaran hutan yang motifnya mungkin karena kecemburuan," jelasnya.
Pelaku lainnya adalah petani yang berupaya memperluas lahan sawahnya di kawasan hutan, jelas Harsh Bhardan Naithani dari Institut Riset untuk Hutan di Dehradun.
Merujuk laporan NIDM, luas lahan hutan yang dikuasai secara ilegal untuk kepentingan agrikultur sebanyak 1,5 juta hektar.
Petani itu sering menyulut api agar menumbangkan pohon pinus, menjadikan tanah tidak cukup lembab demi meningkatkan pertumbuhan rumput untuk pakan ternak mereka, terang Naithani.
Departemen Hutan Uttarakhand memiliki 1.100 stasiun pemadam api lintas kawasan yang masing-masing didukung oleh lima atau enam orang pemadap terlatih dalam mencari titik api dan menghentikan kebakaran, kata Jai Raj, kepala konservasi hutan.
Ada sekitar 12 ribu desa yang berkomitmen menghentikan kebakaran jika mereka menemukan titik api, ungkapnya.
Meski begitu, hanya sedikit terduga pernah ditangkap.
"Sulit mengidentifikasi pelaku dan menuntut mereka karena banyak pelaku kabur dari tempat kejadian, tambah Raj.
"Namun kami melakukan penyelidikan, berujung pada temuan petunjuk yang membantu kami mengidentifikasi pelaku."
Hingga tahun ini, lembaga terkait telah melayangkan sepuluh gugatan ke pengadilan yang menuntut para pelaku penyulut api.
Peta Menyesatkan?
Kelemahan akurasi data merupakan faktor lain dalam melindungi hutan India, terang Shakil Romshoo, kepala ilmu bumi dari Departemen Universitas Kashmir.
Ia meyakini saat ini, data tak akurat menunjukkan rendahnya perhatian atas urgensi kasus ini.
"Jika anda melihat peta dan statistik dari Survei Hutan India, maka anda dibuat untuk melihat pertumbuhan hutan di negera ini meningkat," ungkapnya seraya berujar, "tetapi kami mengamati, teknik yang digunakan dalam pengukuran ini cacat karena tidak ada perbedaan jelas antara hutan yang kurang dan cukup lebat."
Berdasarkan keterangan Romshoo, metode yang digunakan survei hutan di India tidak merekam pohon yang jatuh secara ilegal di banyak hutan negara itu.
Tumbuhan itu telah mengalami pengikisan tetapi tidak sepenuhnya dirusak.
"Hanya karena ada sejumlah pohon di sana, peta survei menganggap itu sebagai hutan, menjadikan survei ini cukup menyesatkan," terangnya.
Namun, Survei Hutan India (FRI) menyatakan survei yang dibuat cukup akurat.
"FRI menyiapkan laporan hutannya dengan membandingkan citra penginderaan dengan data sampel yang diambil di lapangan," terang Mukul Trivedi, wakil direktur survei hutan FRI.
Ia menerangkan survei hutan lembaganya 90 persen akurat.
Namun hutan yang terus hilang merupakan bukti jelas, ungkap Romshoo.
Jika negara itu berharap dapat mencapai misi penyimpanan karbonnya, India harus fokus menghentikan penghancuran hutan dan mereboisasi apa yang telah hilang.
Dalam kajian yang dilansir Geocarto Internasional pada Mei, Romshoo dan rekan penulisnya telah menghitung dalam rentang waktu antara 1980 dan 2005, hutan Lidder di bawah otoritas India-Kashmir telah kehilangan megaton stok karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan.
"India perlu menempuh program penanaman hutan (aforestasi) yang masif, mengingat hutan di negeri ini banyak menghilang," jelasnya mengakhiri.
(Uu.KR-GNT/S023)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016