Kota Kaohsiung, Taiwan, mungkin bagi sebagian banyak masyarakat Indonesia tak terlalu populer dan jarang terdengar dibanding Taipei.
Kaohsiung adalah sebuah munisipalitas setingkat provinsi di Taiwan, China, yang sekarang adalah hasil penggabungan daripada Kota Kaohsiung dan Kabupaten Kaohsiung sejak tanggal 25 Desember 2010.
Kota ini mempunyai bandara terbesar kedua di Taiwan, yaitu Bandara Internasional Kaohsiung dan pelabuhan laut terbesar di Taiwan yaitu Pelabuhan Kaohsiung.
Sekalipun di kota itu mayoritas penduduknya nonmuslim, kegiatan ibadah masyarakat muslim yang tinggal di kota itu berjalan sangat baik dan tidak mendapat penolakan atau gangguan dari pemerintah maupun warga setempat.
"Masyarakat muslim saat menjalankan ibadah seperti sholat lima waktu, sholat Jumat, maupun kegiatan ibadah selama Ramadhan dijamin kebebasannya oleh pemerintah di sini dan tak pernah ada gangguan," kata Imam Besar Masjid Kaohsiung Husein Abu-Yasin.
Dia yang juga Direktur Asosiasi China Muslim, mengatakan cukup banyak warga muslim yang tinggal atau sekadar berkunjung di Kaohsiung datang ke masjid untuk beribadah sholat lima waktu atau membaca Al Quran, bahkan acara bukan puasa bersama serta sholat tarawih berjamaah saat Ramadhan.
Bukan hanya pemerintah setempat yang memberikan kebebasan beribadah, warga Kaoshiung yang sebagian besar nonmuslim juga menghormati warga muslim yang beribadah.
"Mereka warga nonmuslim seperti tak peduli dengan kegiatan ibadah kita dan tidak pernah ada gangguan sedikitpun terhadap kegiatan ibadah kita," katanya.
Kegiatan ibadah paling ramai di masjid tersebut adalah saat sholat Jumat, di mana pada saat itu ada sekitar 200-300 warga muslim dari berbagai negara datang, tak hanya pria yang Jumatan tapi juga wanita juga ibadah sholat Jumat.
Masyarakat muslim yang datang umumnya warga muslim pendatang atau pekerja asing yang tinggal di Kaohsiung, seperti dari Indonesia, Malaysia, Pakistan, India, serta negara-negara Timur Tengah.
"Terbanyak dan paling sering datang ke masjid di sini adalah warga Indonesia," kata Abu-Yasin yang sebelumnya warga negara Myanmar.
Saat menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadhan, pengurus masjid bersama pemerintah setempat bersama-sama menetapkan tanggal awal Ramadhan dan tanggal 1 Syawal.
"Sama seperti dengan di Indonesia, kita juga ada kegiatan bersama-sama menetapkan awal Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri," katanya.
Seperti juga dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan ibadah selama Ramadhan juga diisi dengan memperbanyak membaca Al Quran, buka puasa bersama, sholat Tarawih dan Witir berjamaah, hingga ada yang Itikaf.
Demikian juga saat memasuki 1 Syawal, di Masjid Kaohsiung itu juga mengadakan sholat Ied berjamaah yang diikuti warga muslim dari berbagai negara.
"Pada dasarnya semua kegiatan ibadah umat Muslim di Kaohsiung sama dengan di Indonesia juga negara-negara yang ada penduduk muslimnya," katanya yang beristrikan warga negara Taiwan beragama Islam itu.
Tak kesulitan
Selama menjadi imam besar di masjid itu dirinya tak pernah mengalami kesulitan berarti karena memang masyarakat nonmuslim di Kaohsiang tidak peduli dengan cara beribadah.
Demikian juga mengenai kegiatan rutin mingguan sholat Jumat, banyak pula jamaah dari berbagai negara hadir untuk sholat baik pria maupun wanita.
Tata cara ibadah sholat Jumat pun sama dengan di Indonesia, yaitu terbagi dalam dua khotbah. Hanya saja yang membedakan adalah khotbah disampaikan menggunakan bahasa Mandarin sekalipun jamaah yang hadir bukan warga Taiwan atau Cina.
Khatib di masjid itu selalu menggunakan gamis berwarna putih, berdiri di atas altar yang terbuat dari kayu, serta memegang tongkat.
Aling, seorang WNI yang sudah tinggal di Kaohsiung selama 26 tahun, mengatakan dirinya sering sholat berjamaah di masjid tersebut dan apalagi ketika memasuki Ramadhan bersama-sama umat Muslim lain juga mengikuti tarawih serta witir.
Pengalaman dirinya selalu sholat di Masjid Agung Khahsiung memang menyenangkan karena sering bertemu dan bertukar pengalaman dengan sesama WNI yang berada di kota itu, disamping ingin mendapatkan pahala lebih banyak karena dilakukan secara berjamaah.
"Sholat Jumat dan sholat tarawih seringkali saya lakukan di situ kalau memang tak ada halangan wanita," katanya yang berasal dari Bangka Belitung dan seorang mualaf.
Selama menjalankan ibadah di situ, dia mengakui semula sama sekali tak mengerti pesan khutbah yang disampaikan dalam bahasa Mandarin.
"Tapi setelah puluhan tahun tinggal di sini, lama-lama saya bisa paham juga isi dan pesan yang disampaikan khotib," tambah Aling yang membuka restoran Indonesia di dekat masjid.
Menurut dia, pesan dan isi khutbah yang disampaikan khotib umumnya berisi ajakan umat Islam menghormati sesama ciptaan Allah walaupun berbeda keyakinan serta menjauhkan larangan Allah agar terhindar dari dosa.
Mengenai isi khotbah selama Ramadhan, dia mengatakan umumnya berisi pesan mengenai besarnya pahala yang didapat umat Muslim jika menjalankan puasa sesuai dengan perintah Allah.
"Pada umumnya apa yang disampaikan khotib di Indonesia dan Kaohsiung sama pesannya yakni mengajarkan kebaikan," kata Aling.
Slamet Raharjo, seorang WNI yang bekerja sebagai buruh pabrik tekstil di Kaohsiung, mengatakan dirinya juga selalu menyempatkan diri beribadah di masjid itu jika kebetulan tidak sedang bertugas di pabrik.
Menurut dia, berbeda dengan di Indonesia jika di Indonesia saatnya tiba untuk sholat Jumat semua umat Muslim berbondong-bondong menuju masjid, maka di kota itu tidak bisa dilakukan seperti itu.
"Kalau kebetulan saat Jumat saya sedang libur maka saya bisa sholat Jumat berjamaah di masjid ini, tapi kalau kebetulan tidak sedang libur maka saya terpaksa tidak sholat Jumat di masjid," tambahnya yang sudah bekerja selama lima tahun di kota itu.
Demikian pula saat Ramadhan tiba, dirinya bersama sesama pekerja beraga Islam juga menjalankan ibadah puasa seperti biasa mulai usai Subuh sampai Maghrib.
"Hanya saja saya sering batal puasa juga kalau kebetulan di pabrik sedang capek dan menguras tenaga. Maklum di pabrik hawanya lumayan panas dan menguras banyak tenaga sehingga lemas kalau dipaksakan terus puasa," kata Slamet.
Masjid Kaohsiung dibangun di bangun 1949 dan terletak di 11 Jianjun di Distrik Lingya. Mengingat jumlah jamaah yang beribadah bertambah banyak maka pada 1990 masjid itu alami perluasan hingga saat ini menjadi 2.657 meter persegi dengan memiliki tiga lantai.
Lantai pertama adalah asrama laki-laki dan perempuan, ruang sholat perempuan dan pusat kegiatan perempuan. Lantai kedua adalah ruang shalat utama, pusat studi bahasa Arab dan ruang displai budaya Islam.
Lantai ketiga adalah ruang tamu, pusat kegiatan pemuda, kantor dan dapur. Masjid ini juga dilengkapi kantor imam, kantor administrasi, perpustakaan dan ruang wudhu.
Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016