Kini sulit mengenang betapa dibencinya Cassius Clay, "Sang Lidah Louisville", ketika di Miami Beach pada 25 Februari 1964 dia menantang Sonny Liston untuk pertarungan memperebutkan gelar juara dunia kelas berat dan menang.
Seperti halnya reporter pinggir ring untuk Los Angeles Times, semua orang berpihak kepada Liston pemurung, sedangkan Clay dianggap musuh bersama.
Clay bahkan semakin dibenci ketika dia mengubah nama budaknya menjadi Muhammad Ali dan bergabung dengan (ormas Islam) Nation of Islam, yang kemudian menjadi sekte penganjur pemisahan kulit hitam yang bertentangan dengan komitmen pejuang HAM Martin Luther King untuk perjuangan non kekerasan demi hak-hak sipil.
Perkawinan anta-ras, bagi Ali, adalah menjijikkan. "Laki-laki kulit hitam mesti dibunuh jika dia main-main dengan perempuan kulit putih," kata dia kala itu. Di dalam dan di luar ring dia menyebut lawan-lawan kulit hitmanya "Paman Sam" atau lebih buruk lagi.
Lalu, bagaimana bisa Ali kemudian malah menjadi pahlawan dunia? Adalah selera humornya yang membantu dia ke tingkat itu.
Setelah ditolak masuk restoran untuk makan malam dalam perjalanan ke negara bagian-negara bagian selatan yang masih rasis, dia mengeluh, "Bung ini sungguh mengecewakan, sepanjang jalan saya harus menyantap makanan kaleng."
Ketika ditanyai soal karya seninya di ring tinju, dia malah menjawab, "Terbang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah."
Ketampanannya juga membantu dia menjadi pahlawan. Pada awal 1960-an dokternya, Ferdie Pacheco, melukiskan Ali sebagai manusia paling sempurna yang pernah dia saksikan, badan proporsional, tampan,dan refleks yang cepat.
Terobosan besar pertama dia ke jalur popularitas terjadi sewaktu menjadi pemuda radikal setelah menyampaikan kalimat terkenal, "Bung, aku tidak punya hal untuk dipertengkarkan dengan mereka, Vietkong". Dia lalu menolak mengikuti wajib militer selama Perang Vietnam.
Akibatnya, gelar juara dunia tinjunya dicopot setelah menjadi orator demo antiperang di sirkuit kampus.
Tidak seperti kebanyakan petinju profesional, Ali adalah produk rumah tengga kelas menengah yang kritis dan membuktikan diri bisa banyak berbicara selain juga piawai di ring tinju.
Sajak-sajak jenakanya, seperti lirik lagu-lagu Bob Dylan dan John Lennon, menjadi simbol pemberontakan 1960-an.
Perlahan-lahan dunia tinju menyambut hangat kembali Ali. Sikap acuh tak acuhnya terhadap elemen gangster telah mengesankan dunia tinju.
Jelas perlindungan kaum muslim kulit hitam telah membuatnya bisa membangkang dari para mafia yang sejak lama mengendalikan dan mengorupsi tinju dunia.
Para penggemar tinju semakin terkesan oleh keberanian Ali ketika Mahkamah Agung mengizinkannya kembali ke ring tinju setelah tiga setengah tahun diasingkan dari tinju.
Tetapi refleksnya melambat dan dia harus menyerap pukulan yang sewaktu muda dulu dengan mudah dia bisa hindarkan.
Meskipun demikian dia merebut lagi gelar juara dunia kelas berat dalam pertarungan bertajuk "Rumble in the Jungle" melawan George Foreman di Kongo.
Dia pertahankan gelar itu pada pertarungan bertajuk "Thrilla in Manila" melawan Joe Frazier, dan harus merebut kembali gelar setelah dikalahkan Leon Spinks.
Ali membuktikan dirinya memiliki keberanian besar, selain daya tahan pada segala pertarungan, khususnya melawan Frazier.
"Bung. Saya sudah memukulnya dengan punch-punch yang bisa meruntuhkan kota. Oh Tuhan, dia memang juara sejati," kata Frazier.
Setelah itu Ali menjadi pahlawan di dalam negeri Amerika dan hampir di segala tempat lainnya.
Presiden (Gerald) Ford mengundang dia ke Gedung Putih dan mengumumkan bahwa merupakan "kebahagiaan sejati bisa mengobrol dengan dia."
Pada 1980 Presiden (Jimmy) Carter membujuk dia untuk merayu para pemimpin Afrika untuk ikut AS memboikot Olimpiade Moskow sebagai protes atas invasi Rusia ke Afghanistan.
Dan pada 1996 dia mencapai apa yang dianggapnya kemenangan terbesar di luar ring tinju. Di hadapan 3 miliar manusia lewat siaran televisi, dia mengangkat tinggi-tinggi Obor Olimpiade untuk membuka Olimpiade Atlanta.
Kebanggaannya terlihat jelas, tapi begitu pula dengan penyakit Parkinson yang menggerogotinya.
Seperti banyak petinju sebelum dia. Ali terus saja bertarung jauh setelah dia seharusnya gantung sarung tinju dan harus menerima terlalu banyak pukulan ke kepalanya.
Hari-hari ketika dia harus memesan 50 kamar hotel untuk pertarungan tandangnya pun berakhir sudah. Penggemar mulai menjauhinya. Pada pertengahan 1990-an dia melepas memorabilia tinjunya demi uang.
Istrinya membacakan kalimat dalam surat jual beli memorabilianya itu, dengan mengejanya kata demi kata, "Tulis di sini F--O--R P--I--P". Dia hanya berkata, "Saya tandatangani nama saya. Dan kami pun bisa makan."
Namun, dalam dunia olah raga ketika begitu banyak bekas juara berubah gila atau bangkrut, cerita Ali justru berakhir bahagia.
Ali telah mencapai ketenangan luar biasa pada usia lanjutnya di mana dia menghabiskan waktu untuk bermunajat dan bersujud menghadap Mekah demi memanjatkan doa tiada henti.
Ketika ditanya bagaimana dia ingin dikenang, Ali hanya menjawab dia ingin dikenang "sebagai orang yang tidak pernah memandang rendah mereka yang memandang tinggi orang itu."
sumber: The Economist
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016