Bogor (ANTARA News) - Keberadaan BLU dan dana yang dipercayakan untuk dikelola oleh BLU, jika dapat dikelola dengan baik dan amanah bisa menjembatani berbagai kendala pembangunan sektor kehutanan, terutama dalam hal pembuatan tanaman, yang selama ini timbul karena birokrasi dan administrasi keuangan tahunan. "Setidaknya masalah DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang sering terlambat dan periode tutup buku yang tidak sesuai dengan musim tanam (musim hujan), dimana hal ini sering menjadi sumber berbagai penyelewengan keuangan negara, bisa dijembatani," kata Dr Ir Ricky Avenzora, MScF, staf pengajar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB), Selasa. Hal itu dikemukakan saat diwawancarai ANTARA News sehubungan dengan penjelasan Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban, yang mengharapkan Badan Layanan Umum (BLU) yang ada itu untuk membiayai pembangunan hutan tanaman. Pada akhir Januari 2007, Menhut MS Kaban usai mengikuti Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang dipimpin Wapres Jusuf Kalla di Dephut ia juga diminta untuk mengganti semua peraturan yang diprakirakan bisa menghambat upaya percepatan rehabilitasi daerah kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS). Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meminta Dephut untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran yang ada sebesar Rp2,5 triliun. Menurut Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Hadi Susanto Pasaribu, pengesahan BLU itu tinggal menunggu Surat Keterangan Bersama (SKB) kedua menteri. "Kita sudah menyodorkan draft SKB tersebut." Untuk mempercepat rehabilitasi daerah kritis menjadi 2 juta hektar pada 2007, Rakor di Dephut memutuskan untuk membangun HTI seluas 500.000 hektar, selain pengayaan vegetasi 240.000 hektar, pengembangan silvikultur dan hutan tanaman rakyat 1,8 juta hektar, serta penanaman di areal Perum Perhutani 200.000 ha dari semula 118.000 ha. Bagi Ricky Avenzora, untuk kebijakan yang kondusif berkaitan dengan keberadaan BLU itu perlu didukung dan dicermati bersama agar dapat berjalan dengan baik dan benar serta efisien dan efektif. "Proficiat untuk Departemen Kehutanan yang telah berhasil memperjuangkan kembali dana dan mekanisme khusus untuk pembangungan sektor ini," katanya. Hanya saja, kata dia, bila dilihat dari jumlah dana, maka nilai Rp2,5 triliun yang dialokasikan untuk dikelola oleh BLU itu dapat dikatakan relatif besar. Namun, jika dikaitkan dengan beban dan tanggungjawab yang perlu dilaksanakan oleh Dephut untuk berbagai kegiatan reboisasi dan penghijauan maka jumlah dana tersebut boleh dikatakan masih terlalu kecil. "Jika diasumsikan biaya rata-rata pembuatan tanaman adalah Rp5 juta per hektar, maka dana tersebut hanya cukup untuk merehabilitasi 500 ribu hektar hutan saja," kata doktor lulusan George August Universitaet, Gottingen, Jerman itu.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007