Jakarta (ANTARA News) - Pagelaran wayang kulit kembali menjadi pilihan pihak MPR sebagai ajang reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, mengingat saat ini masyarakat mulai jauh dari nilai luhur itu.


"Sekarang ini masyarakat mulai berkurang jiwa gotong royong, toleransi, kebersamaan dan keharmonisan. Hal tersebut merupakan tanda-tanda semakin jauhnya nilai-nilai Pancasila," ujar Anggota MPR Azam Azman Natawijana di Banyuwangi, seperti dalam keterangan tertulis MPR, Minggu.


Sementara itu, ketua panitia pelaksana pagelaran wayang kulit, Purwadi, mengatakan, selain mereaktualisasi nilai-nilai Pancasila, UU UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, pagelaran wayang juga merupakan bentuk apresiasi MPR melestarikan budaya tradisional.


"Pementasan ini juga sebagai salah satu bentuk apresiasi sekaligus langkah konkret dan nyata MPR RI dalam upaya melestarikan warisan budaya tradisional, khususnya wayang kulit, yang telah menjadi ciri, jati diri dan kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang telah diakui UNESCO," tutur dia.

Purwadi meyakini acara seni budaya ini merupakan instrumen sosialisasi yang mampu menjadi tontonan untuk mencintai budaya bangsa sendiri.


Pagelaran wayang kulit bersama dalang Ki Prasetyo Anom Carito mengambil lakon “Banjaran Rama Bargawa” diselenggarakan di halaman kampus Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi, Sabtu (4/6) malam.


Acara ini turut dihadiri anggota MPR Abdul Malik Haramain (Fraksi PKB) dan Sumail Abdullah (Fraksi Gerindra). Kemudian dari pemerintah daerah hadir Staf Ahli Bupati Banyuwangi Ketut Kencana serta jajaran FKPD dan SKPD Kabupaten Banyuwangi, Ketua DPRD Kabupaten Banyuwangi Joni Subagyo.


Selain itu, ada pula Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi Andang Subaharianto serta dosen, mahasiswa dan tokoh masyarakat setempat.

Ketut yang mewakili Bupati Banyuwangi dalam sambutan tertulisnya berharap sosialisasi Empat
Pilar mampu sampai ke sasaran dengan pesan-pesan yang disampaikan dalam alur cerita pagelaran ini sampai ke seluruh lapisan masyarakat.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016