Jakarta (ANTARA News) - Kalung manik-manik buatan salah satu suku Indian, Amerika, bentuk, warna, dan susunan untaiannya mirip dengan kalung buatan suku Dayak di Kalimantan, sedangkan motif garis-garis pada tenun tradisional sejumlah suku di Nusa Tenggara Timur, sulit dibedakan dengan motif tenun di Amerika Selatan.
Kenyataan tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana kemiripan itu bisa terjadi mengingat letak geografis suku-suku tersebut saling berjauhan?
Kemiripan mungkin terjadi karena suku-suku tersebut belajar dari "guru" yang sama, yaitu para pengelana Eropa yang kemudian menciptakan pemerintahan kolonial di wilayah-wilayah yang mereka sebut baru.
Akan tetapi, kebenaran teori itu harus dibuktikan dengan menilik usia budaya atas benda-benda yang dimaksud apakah barang-barang tersebut sudah ada ketika para pengelana mengunjungi wilayah mereka atau memang para pengelana itulah yang menularkan ilmu seninya?
Pertanyaan tersebut menjadi menarik ketika dikaitkan dengan teori "ketidaksadaran kolektif" dari suhu psikologi, Carl Gustav Jung (baca Karl Gustav Yung), yang menyebutkan bahwa kemiripan mitologi dan simbol-simbol dari berbagai ras dan suku bangsa, terbentuk karena ada ketidaksadaran banyak orang (kolektif) pada masa lalu.
Buku berjudul "Art and Jung, Seni dalam sorotan psikologi analitis Jung", karya Buntje Harbunangin, memaparkan dasar-dasar teori tersebut.
Penulisnya, lulusan Fakultas Psikologi dari Universitas Padjajaran, Bandung, 1982, menegaskan bahwa buku tersebut ditulis untuk memenuhi kebutuhan kolektif terhadap buku tentang teori Jung dalam bahasa Indonesia meskipun teori Jung sendiri sudah menjadi suatu pengetahuan umum bukan saja oleh kalangan psikiatri, melainkan juga oleh ahli psikologi, seniman, dan ahli filsafat, serta pencinta seni.
Memakai gaya populer, alih-alih ilmiah, buku berisi tujuh bab tersebut diawali dengan pengenalan dasar mengenai teori Jung dan sekilas latar belakang pertalian Jung dengan guru sekaligus pesaingnya, Sigmund Freud serta perjalanan karier dan cinta Jung hingga teori psikologi analitisnya diakui dunia.
Pembaca mendapat kemudahan untuk mengenal teori-teori Jung yang mendasar dan secara perlahan dibimbing mengenali teori tersebut dengan contoh hidup melalui pendekatan budaya Indonesia.
Misalnya, ketika menyampaikan tentang isi ketidaksadaran kolektif, yaitu arketipe (pola asal) untuk karakter "lover" atau karakter mereka yang mengabdikan diri untuk cinta, penulis mengemukakan tokoh Srintil dalam karya novel terkenal Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk tentang perawan desa yang dikisahkan mendapat titisan indang ronggeng. Sebagai ronggeng (penari penghibur) Srintil berpindah dari pelukan satu lelaki ke lelaki yang lain, tetapi membaktikan hatinya hanya untuk satu orang kekasih.
Pendekatan tersebut bisa memanjakan pembaca untuk lebih cepat mencerna makna teori psikologi yang bagi orang awam mungkin terdengar "ilmiah" dan sulit dipahami hanya dengan membaca buku, menjadi lebih menantang untuk belajar lebih jauh.
Pada bab III Buntje menghadirkan biografi singkat Jung, pria berparas apik kelahiran kota kecil di Swiss bernama Keswill pada tanggal 26 Juli 1875, hampir satu setengah abad yang lalu.
Ia berasal dari keluarga terpelajar dengan kondisi keuangan yang terbatas, ayahnya seorang pendeta dan aktivis gereja Protestan, sedangkan ibunya seorang perempuan yang menggemari dunia mistik.
Ketika dewasa, dia menikah dengan Emma, perempuan bangsawan yang mapan dan tidak menunjukkan perasaan sakit hati ketika pada suatu saat Jung mempunyai kedekatan khusus dengan seorang pasien perempuan, Sabina.
Ketidaksadaran
Ketidaksadaran kolektif merupakan topik yang menarik bagi banyak orang yang ingin mencari tahu simbol-simbol dan mitologi berbagai bangsa yang banyak memiliki kemiripan. Demikian pula, teori mengenai arketipe yang membuat orang bisa menegaskan pengenalan karakter umum pribadi manusia.
Pembaca bisa belajar dasar-dasar teori tersebut pada buku ini. Alam pikiran Jung mengenai kesadaran dan ketidaksadaran, baik yang personal maupun kolektif, mengisi bab IV dan dilanjutkan dengan bab berikutnya yang lebih detail mengupas tentang arketipe.
Pada saat ini banyak orang bisa mengenal teori kepribadian tentang orang yang ekstravert dan introvert berkat rumusan Jung yang mempelajarinya dari ruang-ruang praktik sebagai terapis selama 20 tahun. Karyanya melengkapi teori yang disusun mentornya, Freud.
Pembahasan tipologi Jung juga dibahas dalam kaitan dengan seni dan penulis mengajak pembaca untuk mengenal cara memahami suatu karya seni.
Carl Jung mengenal seni dari ayahnya yang sering memamerkan karya-karya seni sejak dia masih kecil, antara lain, yang berkesan baginya adalah sebuah lukisan matahari terbenam yang dilukis menggunakan debu letusan Gunung Krakatau.
Jung mengatakan bahwa psikolog hanya dapat mengungkapkan tentang seni pada prosesnya.
Dalam menciptakan suatu karya seni, seorang seniman memiliki proses psikologi mengenai tujuan mencipta dan ada karya yang direncanakan dan terkendali. Namun, ada pula karya yang tercipta berdasarkan kekuatan "terembunyi" dalam diri seniman yang sering kali tidak bisa dikendalikan.
Pada bagian inti buku ini pembaca dapat mempelajari tinjauan seni dari kacamata psikologi sekaligus beberapa contoh karya-karya besar, seperti Faust dari Goethe dan kisah Moby Dick karya Herman Meville.
Jung melalui buku ini juga diperkenalkan sebagai sosok seniman berikut ulasan tentang beberapa karyanya, terutama lukisan, kendati sang maestro psikologi ini menampik sebutan sebagai seniman.
Buku-buku dalam bahasa Indonesia yang mengupas teori Jung tidak banyak dan kehadiran buku ini menjadi salah satu yang memperkaya khazanah buku psikologi di negeri ini.
Antara Publishing yang menerbitkan buku setebal 140 halaman pada 2016 mengatakan bahwa buku-buku jenis ini relatif banyak diminati pembaca karena penyajian yang populer dengan ukuran buku yang pas untuk dibawa-bawa.
"Cocok menemani perjalanan dan harganya di bawah Rp50 ribu terjangkau juga untuk pembeli yang tidak sengaja mencari buku," kata Lusida Wijayanti, Manajer Antara Publishing.
Penulisnya mengharapkan buku yang disunting oleh Harry Nuriman ini dapat menjadi inspirasi para penulis lain untuk membahas teori-teori Jung yang hingga saat ini masih diminati oleh relatif banyak orang.
Oleh Maria D. Andriana
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016