Siti Zahra (35) berjalan semangat meniti tiga anak tangga menuju halaman utama SDN 05 Pulau Lengkang, Kecamatan Belakangpadang Kota Batam Kepulauan Riau, hari itu sekira 20 anak didiknya menghadapi Ujian Akhir Semester genap 2016.
SDN 05 adalah satu-satunya sekolah di Pulau Lengkang, yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga. Di pulau itu tidak ada SMP, SMA apalagi perguruan tinggi.
Di sekolah itu, terdapat 71 anak didik dari kelas I hingga kelas VI. Hampir seluruh siswa berasal dari Pulau Lengkang.
"Saya optimis anak-anak bisa menyelesaikan soal UAS dengan baik. Mereka sudah siap," kata Siti Zahra sambil tersenyum.
Sekolah di Pulau Lengkang itu nampak sederhana, terdiri dari dua bangunan. Satu bangunan terdiri dari tiga ruang kelas dan ruang guru. Dan satu gedung lainnya berisi satu ruang yang dibagi menjadi dua kelas menggunakan penyekat.
Kelas I dan kelas II berbagi waktu belajar. Bila kelas I sudah selesai belajar sekitar pukul 9.00 WIB, dilanjutkan kelas II yang belajar hingga siang.
Satu kelas menampung 10 hingga 20 orang siswa. Sehingga proses belajar mengajar lebih efektif.
Tapi sebenarnya, itu bukan alasan utama kenapa satu kelas terdiri dari 10-20 orang siswa, namun memang daya tampung sekolah yang sedikit. Lagi pula, memang hanya demikian jumlah anak di pulau itu.
Semangat belajar
Bel menandakan waktu ujian berdering. Anak-anak langsung berhamburan ke lapangan, dan pulang.
"Semangat anak-anak pulau untuk belajar tinggi, sudah meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," kata Siti Zahra.
Memang, ada saat ketika kondisi sulit, terutama waktu musim angin kencang. Apalagi, salah satu bangunan sekolah tidak dilengkapi langit-langit, sehingga bunyi angin masuk ke bilik-bilik kelas, menyeramkan.
Angin memang bebas berhembus di sana, karena sekolah terletak di atas bukit, bersebelahan dengan tempat pemakaman umum.
"Seakan-akan ruangan mau tertiup angin. Tapi Alhamdulillah, meskipun sedikit terganggu, anak-anak tetap belajar," kata dia.
Siti Zahra mengaku selalu menyemangati siswanya agar tidak hanya menjadi penonton dari kemajuan pulau-pulau sekitarnya.
Pulau Lengkang berhadapan dengan Pulau Manis, yang dikembangkan menjadi resor terbesar di dunia, lengkap dengan pusat permainan yang dirancang bersama Disney Land.
Berjarak sekitar 15 menit, terdapat pulau utama Batam, dengan segala kemajuannnya.
Tidak hanya itu, hanya dari ujung pelantar Pulau Lengkang, nampak gedung-gedung menjulang di Singapura yang lengkap dengan kemewahan teknologi.
"Makanya, saya selalu mengingatkan mereka untuk tidak menjadi penonton. Apalagi Pulau Manis, saya mendorong mereka untuk maju, agar bisa menikmati wahana di sana, bukan menjadi pekerja kelas buruh di sana," katanya.
Dan menurut dia, kesadaran warga Pulau Lengkang semakin tumbuh.
Apalagi, pemerintah pusat dan daerah kini memberikan banyak kemudahan yang membuat orang tua pun tidak ragu menyekolahkan anak-anaknya.
"Dulu itu sulit, zaman saya, hanya dua orang yang melanjutkan pendidikan," kata perempuan kelahiran Kota Tanjungpinang Kepri.
Kemudahan pendidikan
Di masa lampau, banyak orang tua yang ragu melanjutkan pendidikan anaknya. Karena untuk melanjutkan ke SMP dan SMA, anak Pulau Lengkang harus bersekolah di Pulau Belakangpadang, dengan jarak sekitar 15 menit menggunakan kapal cepat.
Pemerintah hanya menyediakan asrama untuk anak dari pulau lain yang bersekolah di Pulau Belakangpadang.
Tak jarang, orang tua ragu, karena cemas bila anak harus tinggal di asrama, belum lagi biaya hidup yang harus ditanggung.
Dan bila pun tidak tinggl di asrama, biaya transportasi bolak-balik ke sekolah menggunakan kapal, tinggi.
"Tapi sekarang sudah ada kapal dari pemerintah yang disubsidi," ceritanya.
Sambil berjalan ke arah rumahnya terletak hanya sekitar 100 meter dari sekolah, Siti Zahra kembali bercerita.
"Sekira tiga tahun yang lalu, untuk Ujian Nasional juga susah, karena kebijakannya UN dipusatkan di satu sekolah," kata dia.
Anak-anak kelas VI yang mengikuti UN, harus menginap di pulau lain, di sekolah tempat pelaksanaan UN.
Pihak sekolah bersama orang tua siswa harus menyewa rumah warga untuk menginap selama UN berlangsung.
"Bayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk sewa, makan tiga kali sehari," kata dia.
"Karena untuk bolak-balik ke Lengkang tidak mungkin, khawatir ombak tinggi dan sebagainya," lanjut Siti Zahra.
Beruntung, sejak dua tahun silam, kebijakan itu dihapus. Kini, UN diselenggarakan di sekolah masing-masing. Hanya guru yang ditugaskan untuk menjaga ujian di sekolah lain.
"Kalau kami ini, tak apalah menjaga UN di sekolah pulau lain, yang penting anak-anak," ujarnya.
Oleh Yunianti Jannatun Naim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016