Jakarta (ANTARA News) - Pernahkan Anda memperhatikan beberapa baris kata testimoni yang ditorehkan di sampul belakang sebuah buku? Pernahkah Anda menduga perjuangan yang mesti dilalui oleh para penulis untuk mengumpulkannya?
Tanyakan itu pada Anastasia Elisa Herman, seorang bidan dengan pengalaman 20 tahun lebih merawat pasien terutama pasien hospice atau yang berada dalam kondisi kritis.
Demi mendapatkan testimoni dari sejumlah tokoh pilihannya untuk buku keduanya, "Love, Live, Heaven" yang diterbitkan pada tahun 2014, Elisa harus bersikap laiknya seorang detektif. Memburu jejak terkecil, menyamar, menembus barikade pengamanan presiden, dan melakukan banyak hal yang hampir mustahil baginya.
Berawal dari pernyataan sambil lalu putrinya, Elisa, yang bahkan tak berhasil membukukan testimoni dari sahabatnya selama lebih dari 1 dasawarsa, merasa tertantang untuk mewujudkan apa yang tidak mungkin.
"Kalau Mama bisa mendapat testimoni dari Bapak Joko Widodo, barulah Mama orang hebat!"
Tidak banyak pembaca yang mungkin peduli pada testimoni yang menghiasi sampul belakang sebuah buku. Namun, tak sedikit juga yang menilai sebuah buku dari testimoni dan ketokohan orang yang memberikannya.
Bagi Elisa, bidan kelahiran Pekanbaru 1 Mei 1959 yang telah melalang buana karena pekerjaannya, sebuah testimoni dari Joko Widodo atau Jokowi bernilai lebih dari itu.
Dalam perjalanannya memperoleh testimoni dari Joko Widodo dan menyerahkan buku tersebut kepada sang Presiden, Elisa juga menemukan dirinya. Menemukan kembali bocah kecil yang dahulu tak mengenal kosakata "menyerah" dalam kamusnya ketika dalam segala keterbatasan mengejar cita-citanya, yang membawanya jauh hingga ke negeri Paman Sam.
Ingatan Elisa atas bocah kecil itulah yang dia coba tuangkan dalam buku ketiganya yang berjudul "Menggapai Mentari". Dalam buku setebal 326 halaman tersebut dengan sederhana dan polos dia menuturkan bahwa sepak terjangnya selama hampir 1 tahun untuk mewujudkan keinginannya.
Tidak ada diksi yang "wah" dan memancing decak kagum, tidak ada pula gaya bahasa mewah nan sastrawi dalam buku terbitan Penerbarplus itu.
Konsisten dengan dua bukunya sebelumnya, "Bersahabat dengan Ajal" dan "Love, Live, Heaven", kekuatan Elisa adalah pada cara uniknya memaknai setiap peristiwa dalam hidupnya, merangkai setiap pertemuan menjadi kenangan yang berharga.
Dalam setiap babnya, dengan jujur dia mengungkap skenario-skenario di kepalanya tentang harapan-harapannya dan cara dia memandang orang-orang di sekitarnya, termasuk cara dia berdamai dengan seseorang yang membentaknya di hadapan para pendukung Jokowi pada penghujung kampanye panjang pemilihan presiden.
Atau, ketika ia harus memutar otak untuk bisa masuk ke kantor gubernur, gedung Komisi Pemilihan Umum dan Istana Presiden Jakarta, yang seumur-umur hanya dilihatnya dari seberang jalan, tanpa berbekal undangan.
Bercermin Pada Santiago
Elisa memang bukan Santiago, sang gembala dalam karya legendaris Paulo Coelho. Dia tak bertemu raja mahabijak ataupun sang alkemis. Akan tetapi, perjalanannya dalam mewujudkan keinginannya tidak kalah unik. Ada tawa, air mata, peluh, dan doa dalam lembar demi lembar "Menggapai Mentari". Lebih dari semuanya Elisa mengingatkan bahwa harapan tidak pernah boleh mati.
"Kamu harus kuat, jangan menangis, teruslah berjuang!"
Itu adalah mantra Elisa acap kali perjalanannya mendadak terjal berliku. Siapa nyana sebaris kalimat sederhana itu berhasil.
Laiknya Santiago dan perjalanan ajaibnya, Elisa pun meneguhkan kembali sebaris kalimat bijak dari Coelho, penulis hebat asal Portugal.
"Jika seseorang sangat menginginkan sesuatu, semesta akan bekerja sama untuk mewujudkannya."
Itulah sebabnya dia bangga mengakui bahwa keberhasilannya diawali pada penghujung 2013, tepatnya 15 Desember 2013. Saat semesta menunjukkan kuasanya.
Di suatu pagi yang basah, Elisa yang tetap meneguhkan diri lari pagi di Bunderan Hotel Indonesia walau tanpa sang putra, secara tidak sengaja bertemu Jokowi yang saat itu masih menjabat sebagai gubernur.
Tanpa mempedulikan apa pun atau siapa pun dia menerobos kerumunan orang untuk mengkristalkan janji bertemu dengan sang tokoh.
"Besok pagi Ibu datang ke kantor saya... antara pukul 08.00 dan 09.00."
Sebaris kalimat dari Jokowi yang sudah diburunya berpekan-pekan tanpa hasil itu adalah titik tolak Elisa untuk kembali pada kekuatan doa dan upaya.
Orang bijak pernah berkata bahwa hidup adalah untaian perjuangan dan doa. Sebuah rangkaian manik-manik semangat dan peluh yang sesekali berderai dihantui bayang keputus-asaan dan air mata.
Akan tetapi, kabarnya para pejuang sejati akan berjuang sampai hilang bentuk, sampai jantung kehilangan iramanya.
Elisa adalah pejuang. Dia berpeluh saat berjuang, dia jatuh di ambang keberhasilan. Akan tetapi, dia tak menyerah. Dia bangkit dan terus bangkit karena percaya bahwa hari ini bukan akhir dari mimpinya.
Sepak terjang Elisa untuk mewujudkan sesuatu yang tidak mungkin dan dipandang sebelah mata bagi kebanyakan orang justru makin menggarisbawahi bara semangat yang berkobar dalam setiap langkahnya.
Andi F. Noya, presenter kondang, yang dibuat kagum dengan semangatnya, secara khusus menggoreskan pesan bagi para pembaca "Menggapai Mentari".
"Tekad dan kerja keras adalah resep yang ingin ditularkan oleh Ibu Elisa melalui buku ini. Dia menunjukkan bahwa cita-cita tidak akan pernah terwujud tanpa kerja keras dan ketekunan dalam mencapainya. Lewat karya ini, Ibu Elisa ingin menularkan semangat itu."
Sementara itu, Menteri Sosial Dra. Khofifah Indar Parawansa menyebut buku itu sebagai sebuah perjuangan hidup yang penuh cita dan makna dari seorang perempuan tangguh, Bidan Elisa. Mengejar asa menuai bahagia. Bahagia bertemu kasih dan kemurahan Tuhan yang mengabulkan doa dan harapan melalui rintangan dan pengorbanan yang terangkai dalam kisah.
Jika Santiago menemukan "harta karunnya" di ujung perjalanan, Elisa menemukan dirinya hanya terpisah beberapa langkah dari sang idola pada salah satu peristiwa bersejarah negeri ini. Pisah sambut Presiden pada bulan Oktober 2014.
Menggenggam buket bunga berisi tujuh mawar merah dan tujuh mawar putih, Elisa Herman membumikan mimpinya dan mengakhiri satu episode dalam perjalanannya di Istana Merdeka, Jakarta.
Oleh Gusti N.C. Aryani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016