Bagi kebanyakan orang Indonesia, tesaurus atau kamus sinonim ibarat benda asing yang tak sepopuler kamus yang memberikan penjelasan makna kata. Selama ini pelajar dan mahasiswa lebih banyak membuka kamus ketimbang tesaurus.
Kamus bukan saja menyediakan padanan kata atau lema yang hendak diterangkan tapi juga memberikan definisi.
Tesaurus hanya memberikan sinonim atau padanan, dan sejumlah tesaurus juga memberikan antonim alias lawan kata.
Bagi pengguna tesaurus, kamus tetap dibutuhkan terutama untuk mengetahui makna kata-kata khusus atau istilah, konsep yang dipaparkan.
Kehadiran kamus di Indonesia sudah cukup lama sedangkan tesaurus bahasa Indonesia relatif masih baru. Kamus sinonim Bahasa Indonesia susunan Harimurti Kridalaksana, mungkin merupakan tesaurus bahasa Indonesia pertama kali, terbit pada 1988.
Karya salah satu linguis terkemuka di Tanah Air itu masih belum lengkap dan tersusun dengan sejumlah kelemahan.
Lalu muncullah Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) susunan Eko Endarmoko pada 2006. Inilah tesaurus yang cukup lengkap dan dipersiapkan cukup serius sehingga menjadi tesaurus pertama di Indonesia yang layak dibaca bagi mereka yang berkecimpung di dunia kepenulisan.
Pada saat ini, sepuluh tahun kemudian, TBI direvisi secara signifikan oleh penyusunnya dengan tajuk Tesamoko yang merupakan akronim dari Tesaurus Eko Endarmoko.
Tentang manfaat tesaurus, munsyi Anton M Moeljono (mendiang) menulis, bagi orang yang berhasrat membahasakan pikiran dan perasaannya dengan tepat cermat atau elok santun, kamus ini merupakan tambang emas kata yang diperlukan. Tesaurus inilah yang dinantikan para penulis, penyair, pengajar dan pelajar untuk memperagakan bahasa Indonesia yang ranum dan bernas.
Berkatalah esais terkemuka Goenawan Mohamad: dalam menulis saya selalu ingin menghindari satu kata yang sama berulang dalam satu kalimat, bahkan kalau mungkin dalam satu paragraf. Bagi saya tiap karya tulis yang bersungguh-sungguh ibarat sebuah ukiran. Prosesnya memerlukan kreativitas dan ketekunan, inovasi terus-menerus dan kemauan meneliti pelbagai anasir untuk memasukkan yang baru.
Dalam bahasa Inggris, avontur semacam itu tak sulit; seorang penulis dibantu tesaurus seperti Rogets Thesaurus yang mendaftar kekayaan sinonim dengan rapi, tutur penyair yang lahir di Batang, Jawa Tengah itu.
Di Indonesia, para sastrawan, wartawan, penulis teks iklan, penulis pidato, penyair, novelis kini dapat dengan agak terbantu oleh tesaurus karya Eko Endarmoko, jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Dari TBI menjadi Tesamoko, terjadilah sejumlah perubahan. Paling kentara adalah ukurannya. Sedikit melebar dari 15 x 23 cm menjadi 17 x 24 cm, dan sedikit menebal dari 738 halaman menjadi 832 halaman. Juga berubah adalah jenis huruf, tata letak, termasuk penyajian kata-kata yang saling bertalian makna di sana.
Ke dalam Tesamoko, sang penyusun, menambahkan dua komponen, antonim atau lawan kata dan variasi (objek dan subjek adalah varian dari obyek dan subyek).
Eko menyayangkan, lewat pembacaan acak atas respons pembaca edisi pertama, dia bisa menduga ada sebagian dari mereka, pemakai kamus dan tesaurus, yang dianggapnya teledor, yaitu tidak membaca teks-teks pengantar.
Padahal, di sanalah penyusun mempertanggungjawabkan apa-apa yang ia pikir dan kerjakan dengan kamusnya.
Sudah sejak edisi pertama, Eko yang menulis perkara linguistik di berbagai media massa itu, bekerja tidak berangkat dari teori leksikografi, tapi dari kebutuhan pengguna yang dibayangkannya.
Bagi Eko, jalan berpikir inilah yang, disadari atau tidak, telah membangun pengertian atau definisi tentang tesaurus. Dalam bayangan pria kelahiran Tarempa, Kepulauan Riau, pada 1959 itu, penulis/pemakai Tesamoko sedari mula bukan ingin tahu, dan tidak terlampau peduli, kata apakah yang paling dekat pertalian maknanya dengan suatu lema.
Pengguna Tesamoko lebih berhasrat mendapat satu kata paling cocok dan sesuai dengan keperluannya, entah berdasarkan pertimbangan makna atau bentuk/pembunyian. Dan pilihannya itu sudah tentu sangat subjektif. Tesamoko tidak mendesak -desakkan sebuah kata tertentu supaya dipilih, tutur Eko yang pernah mencicipi dunia jurnalisme itu.
Tesamoko hanya menyajikan sehimpunan kata yang saling bertalian makna di bawah satu kata yang menjadi lema, dan dengan begitu, memberi keleluasaan kepada pemakai memilih kata yang ia perlukan. Tepat atau tidaknya pilihan si pemakai bukan lagi jadi urusan Tesamoko, sebab sudah terang perbuatan memilih itu mestilah dibarengi dengan mengerti. Tak perlu pemberitahuan yang eksplisit.
Pemakai Tesamoko dalam perbuatan memilih-milih kata itu semestinyalah mengerti juga bahwa tidak ada sinonimi yang mutlak, absolut. Maka mencari sinonim yang absolut di Tesamoko adalah laku lebay, seperti orang tak punya kerja lain yang lebih berfaedah, demikian peringatan editor sejumlah karya sastra itu.
Sebanyak 29.865 lema dan sublema dalam Tesamoko, 4.105 di antaranya tambahan/baru, adalah senarai kata yang dihimpun dan disusun berdasarkan hubungan makna antara satu dan lainnya.
Dalam Tesamoko hubungan makna itu tampak dalam wujud sinonim (padanan makna), antonim (lawan makna), hipernim (kata umum) dan hiponim (kata khusus).
Dengan penyajian seperti itu, Eko berharap dapat memberi peluang seluasnya kepada pemakai mendapatkan kata paling cocok yang diperlukan. Bukan saja lewat sejumlah kata bersinonim yang tinggal dipilih, melainkan terutama berkat nuansa makna sehalus-halusnya.
Jika harus ada yang dikritik pada Tesamoko, itu tak lain adalah kekurangakuratan penyusun dan tim yang tergabung dalam Gerombolan Tesamoko, dalam memaknai lema yang berkaitan dengan moralitas, yang disepadankan dengan makna kesopansantunan.
Perkara moralitas dan kesopansantuan oleh Roget's Thesaurus diletakkan di kamar yang terpisah bukan disatukan sebagaimana yang dilakukan penyusun Tesamoko. Semoga kekeliruan maknawi ini akan dikoreksi dalam edisi revisi mendatang.
Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016