Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Prof Dr Susanto Zuhdi mengungkapkan bahwa penyusunan kurikulum mata pelajaran sejarah pendidikan dasar dan menengah tidak melibatkan sejarawan.
"Karena kurikulum itu praktis tidak menggunakan sejarawan," kata Susanto di Jakarta, Kamis.
Oleh karena itulah dia menyebut ada sejumlah materi yang dinilai keliru dalam mata pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Susanto yang juga mendalami tentang sejarah bahari Indonesia tersebut mencontohkan salah satu materi yang dianggapnya keliru dalam pelajaran sejarah ialah mengenai masa penjajahan Belanda di Nusantara selama 350 tahun.
Menurut dia Negara Kincir Angin tidak menjajah Nusantara selama itu mengingat perlawanan-perlawanan yang diberikan oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara kala itu. "Jadi kenapa masih ngajarin 350 tahun dijajah (Belanda, itu kan karena pengetahuan yang lemah secara ilmu metodologi sejarah. Karena bagaimana mau dikatakan Belanda menguasai 100 persen Sabang sampai Merauke kalau perlawanan-perlawanan sesudah (kerajaan) Aceh pun masih muncul, pasti tidak benar," tegas Susanto.
Dia mengingatkan agar dalam memberikan pelajaran sejarah juga harus memberikan hal-hal yang bersifat kritis agar timbul keingintahuan dari siswa mengenai hal-hal yang menjadi sebab akibat dari peristiwa sejarah.
Sejarawan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia Anhar Gonggong mengatakan Indonesia harus bisa mengakui kesalahannya karena sempat "mengabaikan" sejarah dengan tidak memberikan porsi yang pas mata pelajaran sejarah di sekolah.
Ia menjelaskan mata pelajaran sejarah yang diberikan sangat sedikit bahkan hampir hilang di kurikulum pendidikan pascareformasi. Namun dia menyambut baik rancangan Kurikulum 2013 yang berusaha mengembalikan sejarah pada pendidikan di Indonesia.
"Yang selalu saya katakan anda tidak akan pernah memahami diri anda sebagai bangsa kalau anda tidak mempunyai pemahaman tentang sejarah. Karena Indonesia dibentuk dalam suatu proses sejarah," ujar dia.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016