Malang (ANTARA News) - Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan carut marut di lembaga pengadilan, Mahkamah Agung (MA), tak lepas dari belum adanya sistem yang baik dan seyogianya pimpinannya harus ikut bertangungjawab terhadap situasi itu.
"Adanya dugaan suap dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Sekjen MA Nurhadi, tidak dapat ditimpakan oleh seorang sekjen semata, tetapi pimpinan juga harus ikut tanggung jawab terhadap kelemahan sistem di MA," kata Gayus usai menjadi pembicara dalam seminar nasional Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia ((APPTHI) di Malang, Rabu.
Dalam bahasa militer, katanya, sering disebut "threre is no solder makes mistake, only general makes it", tak ada prajurit yang salah, tetapi jenderallah yang harus bertanggungjawab terhadap kesalahan bawahannya.
"Itu yang serig disampaikan Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto," kata Gayus.
Menurut dia, sekjen dan Ketua, ibarat rumah tangga bagaikan suami istri, jika istri sakit, suami sudah pasti tahu gejalannya.
"Itu sebabnya, saya selalu mendorong adanya perbaikan sistem di lembaga pengadilan tinggi di MA," katanya.
Menurut Gayus, untuk menjadi seorang ketua dan wakil ketua di MA harus ada persyaratan sesuai dengan konstitusi.
Undang-undangnya antara lain berbunyi, untuk menjadi ketua dan wakil sekurang-kurangnya harus pernah menjabat sebagai hakim pengadilan tinggi tiga tahun dan karir sebagai hakim lebih dari 15 tahun.
Apakah pemilihan ketua dan wakil MA saat ini sudah sesuai dengan syarat itu, masyarakat dapat melakukan pengecekan agar perbaikan sistem kelembagaan juga berdampak pada profesionalisme kerja bidangtugasnya.
Seminar nasonal dan temu nasional yang dihadiri lebh dari 150 perguruantingi hukum swasta, mengambil tema "Kontruksi Konsep Pembinaan Narapidana Berbasis Kerja Sosial", Gayus mengatakan, payung hukum pemidanaan adalah Undang-undang No 2 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Saat ini orang dipidana masih menggunakan paradigma lama, yakni orang di sel dalam penjara.
Paradigma baru, banyak orang mulai mempertanyakan, bukan hanya terbatasya kapasitas lembaga pemasyarakatan, tetapi juga model klasik sudah tidak relevan lagi.
Gayus berpendapat jika kesalahan itu hanya kecil, tindak pidana ringan misalnya, cukup diberi sanksi kerja sosial.
Oleh karenanya, seminar itu cukup baik guna memberikan masukan terhadap perbaikan UU Kemasyarakatan tahun 1995 sebagai reformasi hukum nasional, guna memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat.
Lembaga ekseminasi
Ketua Asosiasi Piminan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia, Dr. Laksanto Utomo mengatakan salah satu cara untuk meningkatkan akuntabelitas MA adalah perlunya didirikan lembaga ekseminasi putusan dari Mahkamah Agung.
Lembaga itu tidak akan mengintervensi putusan seorang hakim, tetapi akan menguji apakah pertimbangan yang dipakai oleh ketua dan anggotanya dalam suatu perkara relevan atau tidak.
"Saat ini banyak pertimbangan putusan dari MA dinilai banyak pihak ada yang kurang relevan, baik kasus korupsi, pidana atau perdata," katanya.
Oleh karenanya, kata Laksanto, dibutuhkan uji petik atau ekseminasi terhadap putusan hakim agung itu agar masyarakat juga menilai apakah hakim yang memutuskan cukup punya kapasitas atau tidak.
Ketika menjawab pertanyaan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia yang anggotanya kini lebih dari 150 anggota siap untuk menjadi mitra masyarakat guna memperbaiki benteng keadilan terakhir itu, Laksanto mengatakan, pihaknya kini sedang membuat panitia kecil untuk uji coba melakukan uji petik putusan pengadilan.
Dia mengatakan pada gilirannya hasilnya akan disampaikan secara terbuka, mana putusan yang baik dan mana putusan yang ngawur. "Pada prinsipnya, APPTHI mendukung putusan yang berat bagi para koruptor atau kejahatan ektraordinary, namun semua itu harus dilandaskan pada rasionalistas dan harus berpijak pada restorasi hukum.
APPTHI bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Malang, juga meluncurkan buku berjudul Akuntabilitas Mahkamah Agung yang berisi koreksi terhadap karut marut lembaga itu.
Buku itu juga diserahkan kepada anggota Hakim Agung Gayus Lumbuun, dan peserta seminar yang terdiri dari kalangan akademisi.
Pewarta: Theo Yusuf, Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016