Yogyakarta (ANTARA News) - Perbankan nasional mendapat sorotan tajam karena belum optimal melakukan ekspansi kredit yang tercermin dari "Loan to Deposit Ratio" (LDR) yang hanya mencapai 64 persen. "Minimnya LDR disebabkan masih lemahnya daya beli (purchasing power) masyarakat, sebagai dampak dari inflasi 17,11 persen pada 2005, serta inflasi `year on year` hingga September 2006, sehingga sisi konsumsi yang menyumbang 65 persen pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak bisa didorong," kata Tony Prasetiantono, pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu.Ketika berbicara pada seminar "Updating Kebijakan Ekonomi dan Publik Indonesia" di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU) UGM di Yogyakarta, ia menyebutkan angka LDR 64 persen merupakan kenaikan dari posisi tahun-tahun sebelumnya yang beranjak sangat pelan mulai dari 43 persen (2003), 50 persen (2004), 60 persen (2005), dan 61 persen (2006). Jika angka-angka tersebut diamati, sebenarnya kredit yang disalurkan perbankan terus meningkat secara signifikan, dari Rp695 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp730 triliun pada akhir 2006. "Jadi, dari indikator ini sebenarnya sudah terjadi ekspansi kredit yang mengindikasikan fungsi intermediasi sudah bergerak," katanya. Namun, menurut dia, karena LDR merupakan angka rasio pembilang dan penyebut, berarti lambatnya akselerasi LDR disebabkan angka penyebutnya (mobilisasi dana masyarakat) yang tumbuh jauh lebih pesat daripada pertumbuhan pembilang (penyaluran kredit). "Kenaikan dana masyarakat mungkin disebabkan menguatnya rupiah, yang menunjukkan telah ada sentimen positif terhadap industri perbankan", kata Tony. Sayangnya, optimisme ini belum dibarengi dengan kemampuan sektor riil menyerap likuiditas yang berlebihan di sektor perbankan. Hal ini, sambungnya, ditunjukkan dengan berlangsungnya "tren ekses likuiditas" (membanjirnya likuiditas) seiring dengan penurunan suku bunga di berbagai negara yang menyebabkan modal portofolio internasional bergerak sangat dinamis. "Situasi ini bisa dikategorikan sebagai kegagalan pasar (market failure) sektor finansial, artinya mekanisme pasar di sektor finansial/perbankan telah gagal menjalankan fungsinya, sehingga membutuhkan intervensi pemerintah dan Bank Indonesia (BI)," kata dia. Menurutnya, upaya BI menurunkan suku bunga (BI rate) merupakan salah satu upaya ke arah itu, namun ini belum cukup, karena investor masih menginginkan perbaikan infrastruktur, kepastian hukum, revisi UU ketenagakerjaan, reformasi birokrasi, kebijakan fiskal, kepabeanan, dan sebagainya. Sedangkan dari sisi bankir (BUMN), "preseden hukum" di wilayah pidana yang mengiringi terjadinya kasus-kasus kredit macet merupakan problematik tersendiri yang harus dicarikan solusinya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007