Yogyakarta (ANTARA News) - Maraknya kasus pembunuhan dengan berbagai modus kekerasan yang terjadi akhir-akhir menunjukkan bahwa masyarakat kini sedang melalui masa transisi menuju depresi massal. Menurut Direktur Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta, dr Andung Prihadi MKes di Yogyakarta, Sabtu, depresi yang dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat secara sporadis ini dipengaruhi oleh situasi pemerintahan, ekonomi dan sosial yang semakin tidak jelas. "Saat ini tidak ada figur panutan sebagai penyejuk jiwa yang bisa meredam amarah masyarakat. Ulama bertengkar sendiri, pemimpin legislatif dan eksekutif ternyata bobrok dan media menyajikan hal-hal yang tidak menyejukkan," katanya. Yang paling parah, menurut Andung, terjadi di bidang ekonomi, ketika pemerintah hanya memperhatikan ekonomi makro dalam mengambil kebijakan tanpa melihat kondisi masyarakat banyak. Ia mencontohkan, kenaikan BBM lebih dari 100 persen beberapa tahun lalu mengakibatkan banyak masyarakat depresi meskipun tidak tampak. Tanda-tanda depresi bisa diperhatikan dari perilaku yang diawali dengan menarik diri dari pergaulan, anti sosial dan mulai sulit diajak berkomunikasi. "Ketika terjadi kasus pembunuhan, orang-orang dekat pelaku terkadang merasa heran karena pelaku tergolong pendiam padahal diam tersebut justru merupakan gejala depresi," kata dia. Mereka telah terhipnotis oleh kondisi alam bawah sadar. Ilusi ini lama-lama akan menjadi `faham` atau meningkat menjadi sebuah keyakinan. "Seperti ketapel, beban orang ini sudah menumpuk, hanya tinggal menunggu ditarik. Semakin jauh menarik karet ketapel, akan semakin jauh jangkauannya," katanya. Tindakan membabi buta sebagai puncak emosi yang dalam ilmu kejiwaan disebut `manic` menjadi tahap selanjutnya. "Biasanya pemicunya hanya sederhana tetapi karena beban sudah penuh sehingga sulit untuk terelakkan lagi," katanya. Kondisi seperti ini bisa terjadi mulai dari kalangan ibu rumah tangga hingga militer terlatih, karena yang lebih mempengaruhi adalah kemampuan menghadapi situasi buruk.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007