Jakarta (ANTARA News) - Kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Amerika Serikat (AS) dan pertemuannya dengan Bill Gates pada 27 Juni 2005 tidak bisa dijadikan landasan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) Pemerintah RI dengan Microsoft. "Adalah terserah konsumen mau membeli Microsoft atau software lainnya, soal itu bukan urusan yang bisa dipaksakan. Artinya MoU dengan Microsoft itu tidak tepat dan tak perlu dilanjutkan," kata Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Tresna Soemardi di Jakarta, Jumat. Tresna juga menyatakan, tidak akan ada sanksi jika MoU yang telah ditandatangani Menkominfo Sofyan Djalil dan Chris Atkinson dari PT Microsoft Indonesia tersebut tidak dilanjutkan ke suatu MoU yang mengikat. MoU tersebut rencananya akan ditindaklanjuti dengan penandatanganan kontrak yang mengikat antara Microsoft dan pemerintah RI paling lambat 31 Maret 2007 dan akan membuat pemerintah membeli lisensi 117.480 Microsoft Office dan 35.496 Microsoft Windows. Hitung-hitungan berdasarkan asumsi bahwa semua desktop pemerintah menggunakan Microsoft Windows dan MS Office menurut dia sangat absurd karena saat ini terdapat desktop yang juga menggunakan software selain Microsoft, misalnya Kementerian Ristek dengan software berbasis Open Source. Selain itu, sebagian besar komputer di instansi pemerintah pengadaannya dilakukan melalui proses tender dan biasanya Microsoft windows dan office sudah termasuk harga yang dibayar dalam harga pemenang tender tersebut. Justru dengan melanjutkan MoU tersebut ke MoU yang lebih mengikat, itu berarti pelanggaran karena memberi hak monopoli Microsoft untuk pasar software operating system dan office serta menjadikan 100 persen pangsa desktop pemerintah adalah milik Microsoft. "MOU juga menutup akses pasar software lainnya dan menjadi disinsentif bagi pengembangan software dalam negeri. Padahal saat ini perkembangan software di Indonesia sangat pesat," katanya. Ia mencontohkan software berbasis open source yang kode-kodenya terbuka untuk diakses pengembang software seperti Linux dan turunannya, Ubuntu, Pinux, Open Office dan lain-lain yang kebanyakan bisa dimanfaatkan secara gratis atau lebih murah. Microsoft sendiri, ujarnya, meski untuk mendapatkan lisensinya harus dengan membayar mahal, tetapi sudah menguasai pasar hingga 90 persen untuk operating system dan office tools serta 50 persen untuk server. Ia juga mengatakan, survei bahwa Indonesia merupakan negara pembajak terbesar ketiga software setelah Zimbabwe dan Vietnam dengan tingkat pembajakan sampai 87 persen tetap tak bisa menjadi dasar MOU yang bernuansa mengeksploatasi pemerintah RI.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007