Cirebon (ANTARA News) - Bentrokan antara nelayan dengan alat tangkap cantrang dan nelayan non-cantrang kerap terdengar di sejumlah daerah seperti Bangka Belitung, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara. Sampai ada aksi membakar perahu dan alat tangkapnya.

Namun yang terjadi di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, bisa menjadi contoh bagaimana dua desa nelayan yang hanya dipisahkan Sungai Eretan bisa hidup berdampingan secara damai walaupun menggunakan alat tangkap yang bertolak belakang.

Nelayan di sisi barat yaitu Desa Eretan Kulon sebagian besar menggunakan alat tangkap dogol atau sekarang dikenal dengan nama cantrang yang saat ini dituding merusak lingkungan. Sementara di sisi sebelah timur ada Desa Eretan Wetan yang sebagian besar menggunakan alat tangkap pursein.

Kedua nelayan itu melalui muara yang sama yaitu Muara Sungai Eretan untuk masuk ke dermaga mereka, namun masing-masing mempunyai tempat pelelangan yang berbeda dengan pengelolanya koperasi yang berbeda. Di barat, ada KUD Mandiri Mina Bahari dan di timur ada Koperasi Misaya Mina yang lebih tua.

Nelayan cantrang menyadari bahwa alat tangkap selama ini dituding merusak lingkungan karena bisa menggaruk juga terumbu karang yang menjadi tempat ikan meletakkan telurnya. Bahkan, alat tangkap mereka juga sering membawa rumpon atau rumah ikan yang sengaja dibuang nelayan dari Desa Eretan Wetan.

Mengapa jaring "trawl" merusak terumbu karang bahkan bisa merusak jarring nelayan yang ditebar di tengah laut?. Cara kerja jaring itu setelah ditebar ke laut adalah ditarik oleh kapal, itulah mengapa disebut pukat tarik atau pukat hela. Jika kecepatan tarikan kapal lambat maka jaring akan menyentuh lumpur di dasar laut karena panjangnya tali hela, akibatnya begitu ditarik lagi maka jarring akan menggaruk terumbu karang.

Operasi jarring yang ditarik itulah juga membuat jaring bisa menyeret rumpon yang sengaja ditanam nelayan, kemudian jarring kejer yang merupakan tipe jarring yang dipasang di laut sejajar dengan pantai untuk menangkap rajungan.

Banyak nelayan yang mengeluhkan rusaknya terumbu karang sampai belasan mil dari pantai sehingga nelayan yang menggunakan pursein mengaku hasil tangkapannya menurun, bahkan harus berlayar lebih jauh lagi agar bisa menghasilkan tangkapan yang lumayan.

Nelayan pencari rajungan juga mengeluhkan seringnya jaring mereka yang ditanam di tengah laut hilang yang diduga terseret jaring cantrang.

Begitu keluar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2 tahun 2015 tentang pelarangan pukat hela termasuk cantrang, nelayan di Desa Eretan Kulon menjadi resah karena selama ini hanya alat itu yang menjadi andalan mereka.

Sebaliknya nelayan di Desa Eretan Wetan justru mendukung langkah pemerintah karena tanpa tindakan tegas maka terumbu karang akan semakin habis dan hasil tangkapan mereka selalu menurun.

Namun perbedaan pandangan soal alat tangkap itu tidak membuat mereka terlibat konflik secara horizontal. "Kami masing-masing saja, tidak saling menganggu. Tidak pernah ada bentrok antarnelayan di sini karena soal jarring dogol," kata Rosyid, nelayan di Desa Eretan Wetan yang diamini nelayan lainnya.

Mengakui
Sejumlah nelayan cantrang mengakui bahwa terkadang jaring mereka menggaruk terumbu karang dan rumpon-rumpon ikan, namun mereka makin yakin bahwa sumber daya kelautan itu tidak akan habis.

Pengetahuan ilmu kelestarian lingkungan dari nelayan masih perlu ditingkatkan karena seperti yang diungkap Wartam (43), salah satu pemilik kapal dengan alat cantrang, bahwa selama ini hasil tangkapan tidak banyak perubahan sehingga dia yakin alat tangkap itu tidak merusak lingkungan. Hal itu dikuatkan dengan pengakuan Darto dan Mukmin, pemilik kapal lainnya.

Mereka juga mengaku butuh nelayan di desa itu tidak bisa menggunakan alat lain selain cantrang, bahkan mereka mengungkapkan hasil tangkapan cantrang justru melebihi alat tangkap lain, apalagi pengoperasiannya cukup 10 sampai 12 awak kapal jadi hasil tangkapannya dibagi dengan orang yang lebih sedikit.

"Kalau pakai pursein, selain harganya mahal sampai miliaran rupiah, awak kapalnya juga sampai 24 orang sementara hasil tangkapannya lebih sedikit," katanya.

Namun jika pemerintah menerapkan aturan pelarangan cantrang secara menyeluruh, Wartam dan nelayan lain tidak pilihan untuk mencari alat tangkap lain. "Kalau bisa diberi bantuan hibah alat tangkap lain atau dibeli dengan cara mencicil, supaya kami bisa tetap mencari ikan," katanya.

Berkelanjutan
Sebaliknya, pengetahuan tentang kelestarian hayati perikanan dari nelayan di Desa Eretan Wetan, cukup bagus. Mereka paham hilangnya terumbu karang akan membuat ikan semakin sedikit sehingga ketika melaut mereka tidak segan membawa serta rumpon sederhana dari daun kelapa dan bantu atau jangkar yang sudah tidak terpakai agar bisa membentuk terumbu karang baru.

Bahkan Rosyid, anak buah kapal Tawakal mengatakan, sebaiknya angkutan umum dan kereta api di Jakarta yang sudah tidak layak sebaiknya dibawa dan ditenggelamkan di perairan Indramayu supaya bisa menjadi rumpon ikan.

Nelayan desa itu menyadari hasil tangkapan dengan jaring pursein tidak sebanyak menggunakan cantrang tetapi mereka menerima dengan senang hati. "Kami sadar hasilnya tidak sebanyak cantrang, tetapi kami juga ingin agar laut tetap bisa memberikan ikan untuk anak cucu," katanya.

Ia dan nelayan lain seperti Komar dan Rasgianto, berharap pemerintah secara tegas melarang cantrang dan tidak perlu diberikan dispensasi kembali karena mereka ingin agar terumbu karang di perairan Laut Jawa kembali tumbuh.

"Hampir 18 mil dari pantai terumbu karang sudah rusak parah, ini membuat tangkapan kami terus menurun. Sejak tahun 2007 terumbu karang menurun drastis, ini harus diselamatkan," kata Komar yang hanya belajar sampai kelas 3 SD.

Harapan keberlanjutan sumber daya perikanan bukan hanya milik Pemerintah, karena banyak nelayan kecil yang juga sadar mereka harus mewariskan yang terbaik bagi anak cucu mereka.

Oleh Budi Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016