Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menganggap syarat sarjana (S1) bagi calon Presiden (Capres) tidak relevan karena merupakan syarat teknis yang lebih tepat untuk seleksi staf. "Kita akan nilai jika jadi perkara karena di mana-mana tidak ada yang begitu, itu kan syarat teknis untuk staf," katanya di sela temu wicara "MK Dalam Sistem Ketatanegaraan RI" di Jakarta, Jumat. Jimly menilai syarat teknis seperti itu tidak lazim diterapkan untuk konteks kepemimpinan dalam sistem demokrasi. Dicontohkannya, senator di Amerika Serikat (AS) banyak yang tidak bergelar sarjana, tetapi tidak sedikit staf mereka yang bergelar doktor. Namun demikian, Jimly menyadari sistem demokrasi di Indonesia belum semaju AS, sehingga pembahasan syarat-syarat kepemimpinan masih perlu dilakukan. "Biar saja itu didebatkan di DPR," katanya menambahkan. Pembahasan itu, menurut Jimly, seharusnya tetap didasarkan pada UUD 1945 karena sebenarnya syarat-syarat menjadi Presiden sudah diatur di dalamnya. Dia mengatakan dengan mengikuti syarat yang diatur dalam UUD 1945, akan mengurangi timbulnya permasalahan kontitusionalitas. Meski demikian, Jimly menganggap penambahan syarat-syarat capres adalah hal yang wajar selama tidak bertentangan dengan konstitusi. "Kalau mau ditambah-tambah silakan saja, tapi jangan sampai bertentangan dengan UUD 1945," katanya. Proses pembahasan di DPR itu, menurut Jimly, adalah bagian dari kebijakan hukum (legal policy) yang sangat berguna bagi perkembangan lembaga-lembaga dan sistem demokrasi di Indonesia. Lebih lanjut Jimly menegaskan pembahasan UU Pemilihan Presiden dan UU Pemilihan Umum sangat diperlukan karena akan menjadi referensi dalam proses demokrasi ketika aturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku. Oleh karena itu, katanya, pembahasan peraturan itu harus dilakukan sebaik mungkin sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi. "Jangan sampai nanti belum apa-apa sudah digugat di MK," kata Jimly.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007