Jakarta (ANTARA News) - Rencana kebijakan Bank Indonesia (BI) mengubah suku bunga acuan dari BI Rate menjadi BI 7-Days Repo Rate mulai 19 Agustus 2016 dinilai harus diikuti dengan kemampuan mengendalikan tingkat inflasi.
"Kebijakan itu dimaksudkan untuk menurunkan suku bunga secara berkesinambungan. Namun perlu ada jaminan penurunan inflasi," kata Chief Economist and Director for Investment Relations Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, kepada Antara, di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, penurunan BI Rate tidak semata untuk merespon suku bunga di pasar uang antar bank, tetapi sebagai acuan untuk merefleksikan sikap dan kebijakan antisipasi BI terhadap berbagai fenomena makroekonomi secara keseluruhan.
Ia menjelaskan, seperti yang sudah diperkirakan bahwa Rapat Rapat Dewan Gubernur BI pada Kamis (19/5) tidak mengubah tingkat suku bunga acuan, atau tetap pada posisi 6,75 persen.
Menjelang realisasi penerapan reverse repo 7 hari tersebut, BI diperkirakan akan berupaya menjaga kestabilan suku bunga hingga Agustus 2016.
Sejalan dengan itu, Bank komersial pun dikondisikan agar menurunkan suku bunga kredit dan suku bunga tabungannya.
Meski begitu, diutarakan Budi Hikmat, suku bunga rendah bukannya muncul tanpa ada prasyarat, namun hanya dapat berkesinambungan jika inflasi tetap terjaga pada tingkat yang juga rendah dan berlanjut.
"Penurunan inflasi, dapat dilakukan dengan cara memproduksi barang serta mendistribusikannya dengan lancar," ujarnya.
Produksi yang mencukupi di dalam negeri, bukan karena impor."Misalnya saja, jika ada beras mahal di Pulau Jawa, dapat ditekan dengan mengirim dari Makassar dengan jalur distribusi yang lancar sehingga tidak terjadi kelangkaan beras yang membuat inflasi meningkat," lanjut Budi.
Inflasi di Indonesia terjadi karena produksi yang kurang sementara permintaan tinggi. Produksi rendah juga membuat harus ada impor sehingga terjadi defisit neraca berjalan.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016