PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II baru saja memiliki Direktur Utama (Dirut) yang baru setelah beberapa waktu sebelumnya dipimpin oleh Pelaksana Tugas Dirut. Sang Dirut adalah Elvyn G Masassya.

Ketika namanya diumumkan sebagai pimpinan dari Indonesia Port Corporation (IPC), begitu nama BUMN pelabuhan itu kini disebut oleh publik, banyak pihak merasa terkejut.

Soalnya, nama Elvyn G Masassya hampir tidak pernah muncul dalam berbagai prediksi yang beredar di komunitas kemaritiman nasional sebelum ia ditetapkan sebagai pemimpin puncak pada BUMN itu.

Selama ini bursa calon diisi oleh para profesional yang tengah menduduki posisi-posisi strategis di Pelindo I hingga IV. Kalaupun ada "orang luar", mereka berasal dari perusahaan yang masih dalam lini bisnis yang sama, yaitu transportasi.

Tulisan ini tidak hendak mengatakan bahwa Elvyn tidak layak menempati posisi barunya. Dengan rentang pengalaman sebagai top-level executive pada berbagai korporasi besar yang sudah dilalui oleh "anak Medan" itu, ia patut menjadi Dirut Pelindo II.

Hanya saja, bisnis yang akan digeluti oleh mantan Dirut PT Jamsostek itu sedikit berbeda, jika tidak mau disebut berbeda seratus delapan puluh derajat, dari apa yang ia pernah gumuli sebelumnya.

Khazanah pengalaman dalam mengelola berbagai perusahaan di luar bisnis pelabuhan yang ada pada alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya Jakarta itu bisa jadi tidak cocok dalam mengurus IPC. Bisnis pelabuhan adalah usaha yang tergolong unik dan khusus.

Bisnis Pelabuhan

Bisnis pelabuhan memang tergolong usaha yang unik dan khusus. Ia unik karena memadukan berbagai sektor dan keahlian yang ada dan memanfaatkannya untuk mendorong peradaban.

Sejarah menceritakan kepada kita bahwa peradaban besar dunia yang ada saat ini berawal dari sebuah permukiman yang bertempat di pinggiran sungai atau laut yang di dalamnya ada pelabuhan.

Dalam zaman modern ini pelabuhan mendorong berkembangnya teknologi, salah satunya, automated guided vehicles (AGV) yang memudahkan proses bongkar-muat peti kemas.

Pada giliran selanjutnya, teknologi itu mengangkat derajat pelabuhan yang menggunakannya ke level mega port. Sementara itu, bisnis pelabuhan disebut khusus karena ia memiliki model yang sudah paten, tinggal di-"copy paste" (ditiru) bagi yang ingin menjalankannya.

Pikiran utama dari model ini bertumpu pada hubungan antara pemerintah dan pembangunan pelabuhan. Adapun model itu meliputi "landlord port", "tool port", dan "service port".

Dalam model "landlord port" pemerintah (bisa pusat atau daerah) berperan secara tidak langsung dalam pengembangan pelabuhan, diwakili oleh "port management" (managemen pelabuhan), "port authority" atau "port administration" (otoritas pelabuhan). Pembangunan fisik pelabuhan dan pengoperasiannya dilakukan oleh pihak ketiga yang bekerja sama dengan otoritas kepelabuhan.

"Tool port" merupakan model pengelolaan pelabuhan di mana port authority-nya memiliki, membangun, dan mengoperasikan pelabuhan (infrastruktur dan suprastruktur) lengkap dengan pekerja yang menjalankan alat bongkar muat. Pihak ketiga mendapat pekerjaan bongkar muat terbatas dari "port authority" maupun perusahaan pelayaran.

Sedangkan "service port" seluruh infrastruktur, suprastruktur serta pekerja pelabuhan berada di bawah wewenang penuh otoritas kepelabuhanan, tidak ada pihak ketiga yang dilibatkan.

Di Indonesia, model pengelolaan pelabuhannya tergolong tidak jelas. Ada yang menyebut model pengelolaan pelabuhannya adalah gabungan "landlord", "tool port" dan "service port".

Sepertinya hal ini disebabkan oleh tidak adanya ketiga konsepsi tersebut di dalam ketentuan umum dan penjelasan UU No 17/2008 tentang Pelayaran.

Aturan ini hanya memuat tentang tatanan pelabuhan nasional yang terdiri dari pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan.

Harapan Besar

Tentu saja Elvyn tidak perlu hafal semua konsepsi di muka. Ia berurusan dengan hal-hal strategis, sementara hal-hal teknis bisa dikerjakan oleh stafnya. Tetapi, tak ada salahnya mengerti printilan bisnis pelabuhan, apalagi bila itu terkait dengan teknis operasional kepelabuhanan.

Lalu, hal strategis apa yang bisa diharapkan oleh publik dari alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu demi masa depan pelabuhan nasional yang lebih cerah?

Ada dua hal. Pertama, Elvyn diharapkan mampu membangun "best practices" (tindakan terbaik) dalam pengelolaan pelabuhan yang berada dalam kendali BUMN pelabuhan yang saat ini bukan lagi "anak emas" pemerintah.

Sudah seringkali pemerintah melalui petinggi Kementerian Perhubungan "menghajar" Pelindo. Mereka selalu berkata "Pihak swasta akan makin dilibatkan dalam bisnis pelabuhan agar pelabuhan tidak dimonopoli oleh Pelindo dan ada kompetisi layanan dan harga".

Sebetulnya isu monopoli oleh Pelindo bisa disebut hanya isapan jempol belaka. Tidak ada monopoli di pelabuhan Indonesia dari dahulu karena Kemenhub selalu menempatkan aparatnya (dahulu administratur pelabuhan, kini Otoritas Pelabuhan) untuk mengendalikan pelabuhan.

Pelindo tetap saja dari dahulu hingga sekarang sebagai pelaksana seluruh arahan dari pejabat tersebut.

Yang juga memperparah kondisi Pelindo saat ini adalah pungutan terhadap jasa-jasa pelabuhan yang selama ini dilakukan oleh Pelindo, kini mulai dipungut pula oleh Otoritas Pelabuhan, sehingga terjadi "double charge" (biaya ganda).

Menariknya, publik menganggap Pelindo yang melakukan pungutan berlapis itu.

Kedua, Elvyn diharapkan dapat memuluskan upaya mengintegrasikan BUMN pelabuhan ke dalam satu "holding" (kelompok) yang saat ini gagasan tersebut agak sedikit tersendat.

Jika BUMN pelabuhan dapat disatukan, kekuatan yang muncul akan sangat dahsyat dari sisi aset, pasar, dan sumber daya manusia.

Barangkali "holding" pelabuhan itu akan menjadi salah satu yang terbesar di kawasan serantau. Dengan itu wacana operator pelabuhan nasional untuk "go international" bukan lagi hal yang tidak bisa dilakukan.

Jadi, besar sekali harapan publik kepada sosok Dirut Pelindo II yang baru, karena dia memang amat "promising" (menjanjikan).

*) Penulis adalah Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Oleh Siswanto Rusdi*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016