Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR, Dedy Djamaluddin Malik, mendesak pemerintah agar tak menunda-nunda waktu lagi mengajak Malaysia berunding secara terhormat dan bermartabat, guna membahas sikap mereka melakukan provokasi militer di Blok Ambalat yang masih menjadi wilayah kedaulatan RI. "Yang paling realistis sekarang, segeralah pemerintah kita mengajak Malaysia untuk berunding," tegas Dedy Djamaluddin Malik di Jakarta, Kamis, menanggapi masih tetap ngototnya negeri jiran itu memprovokasi wilayah NKRI, khususnya di Blok Ambalat.Namun begitu, lanjut politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) ini, Indonesia harus menunjukkan sikap tegas, sembari mendengarkan pihak lain dengan semangat mencari solusi. "Mendengar pihak lain, bukan berarti harus didikte, tetapi segala upaya ditempuh di meja perundingan, tanpa harus kehilangan hak-hak kita," kata Dedy.Sebelumnya, dalam keterangan terpisah, Pengamat Militer CSIS, Dr Kusnanto Anggoro, berpendapat hampir senada dengan Dedy Djamaluddin Malik. Ditanya pendapatnya apakah sudah perlu aksi diplomatik lebih serius atau militer terhadap Malaysia, Kusnanto Anggoro menjawab ringkas: "Diplomacy is the first line of defence". Tetapi, Kusnanto Anggoro juga mengeritisi ketidakperdulian Indonesia merawat wilayah sendiri dan adanya sikap ingkar dari keharusan menjaga martabat kedaulatan RI, sehingga telah menjadikan para tetangga semakin berani mengganggu teritorial Indonesia. Kusnanto mengungkapkan itu menanggapi kenyataan di lapangan, Malaysia tetap saja mengganggu wilayah RI. "Harus tetap cari solusi diplomatik. Tapi, diplomasi effektif harus ditopang kemampuan penangkal yang handal. Jadi pertahanan juga harus diperkuat," katanya yang memberikan indikasi belum sesuai harapannya keadaan sistem pertahanan RI saat ini untuk mengawal wilayah kedaulatannya. Kusnanto lalu menunjuk satu hal paling vital yang tidak pernah dilakukan apalagi disentuh, padahal aspek ini sangat urgen dalam konteks menjaga keutuhan, kedaulatan serta martabat wilayah NKRI. "Yang kita tidak lakukan adalah mengintegrasikan strategi pertahanan dengan strategi diplomasi. Sejak 1980-an, tak ada strategi pertahanan yang handal. Tak ada arah rencana pengembangan pertahanan yang kredibel untuk melindungi wilayah negara," ungkap Kusnanto Anggoro. Lebih buruk lagi, Indonesia baru merasa punya wilayah, ketika orang lain mengklaim atau menjarah wilayah itu. "Lebih ironis lagi, ketika tidak ada apa-apa, kita juga tidak perduli merawat wilayah kita. Kita ingkari sendiri keharusan jaga maratabat," tukas Kusnanto dalam nada amat kesal dan kecewa. (*)
Copyright © ANTARA 2007