Jakarta, 15/3 (ANTARA) - Perluasan wilayah tindak pidana terhadap agama (penodaan agama) dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai bagai pedang bermata dua.
Pada satu sisi perluasan wilayah itu merupakan upaya merinci jenis tindak pidana untuk menghindari pasal karet, di sisi lain memiliki potensi kesewenang-wenangan, kata Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Rumadi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
"Apalagi dalam kenyataan sosial, serinci apapun bunyi sebuah undang-undang tetap saja mempunyai potensi untuk ditafsirkan," katanya.
Dikatakannya, empat dari lima pasal tentang penodaan agama di dalam RUU KUHP yakni pasal 341, 342, 343, dan 344 asumsinya dipergunakan untuk melindungi agama.
Menurut Rumadi, hukum pidana tidak sepatutnya diarahkan untuk melindungi agama karena pada dasarnya keberadaan agama tidak memerlukan perlindungan dari siapa pun, termasuk negara.
Perlindungan negara dalam bentuk undang-undang, katanya, sudah semestinya ditujukan pada pemeluk agama, bukan pada agama itu sendiri.
"Terlalu naif kalau sebuah undang-undang yang relatif dan temporer sifatnya bermaksud melindungi sesuatu yang mutlak dan diyakini berasal dari Tuhan," katanya.
Selain itu, Rumadi menilai perluasan delik agama dari KUHP yang lama terlihat mengarah pada over kriminalisasi karena dalam prakteknya sangat potensial terjadi penyalahgunaan.
"Pasal-pasal penodaan agama multitafsir. Hakim biasanya akan mengikuti pendapat mayoritas sehingga potensial menimbulkan penindasan atas paham keagamaan yang non mainstream oleh kelompok mainstream," katanya.
Oleh karena itu, Rumadi menyarankan agar pasal-pasal tersebut ditinjau ulang dengan mentikberatkan pada upaya melindungi kebebasan beragama, termasuk memeluk keyakinan lokal masyarakat yang selama ini tidak diakui sebagai agama oleh negara.
Sementara untuk pasal 345 tentang penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama, menurut Rumadi harus dibenahi dan diperjelas sehingga seorang penceramah agama tidak akan menjadi korban pasal itu.
Ia berpendapat pasal 345 seharusnya diarahkan untuk mengkriminalisasi orang yang menghasut orang lain untuk tidak beragama atau memaksa dan mengancam orang untuk berpindah agama.
"Jadi pasal ini harus diarahkan pada perlindungan keyakinan individu dari kemungkinan pemaksaan dan ancaman orang lain untuk pindah agama," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007