Seseorang bertubuh subur, di kepalanya mengenakan helm putih, sembari membawa buku catatan kecil lengkap dengan pena hitam yang diselipkan di lembaran buku, terlihat sibuk dan bergegas berjalan menuju dek kapal.
Rupanya, pria berseragam biru itu mendekati dua pekerja yang sedang membenahi ikatan di sisi dek sambil sesekali ikut mengikati sendiri tali-tali sebagai pembatas.
"Yang kuat, jangan sampai mudah lepas. Pastikan ikatan-ikatan tak terlihat dan harus rapi," ucapnya.
Dia adalah Satriyo Bintoro, penanggung jawab pembuatan sekaligus pengiriman kapal BRP Tarlac berkode lambung 601 dari dermaga niaga PT PAL Indonesia di Surabaya menuju Pelabuhan Manila di Filipina.
Perjalanan ditempuh selama lima hari empat malam, berangkat Senin (8/5) siang, dan tiba di Manila pada Jumat (13/5) malam.
Pak Bin, begitu ia akrab dipanggil. Pada hari pertama (Senin pagi) sudah mengumpulkan seluruh pegawainya yang mendapat tugas berlayar mengirimkan kapal ke Filipina.
"Meski berasal dari berbagai bidang, tapi kita di sini adalah satu tim. Laksanakan tugas sesuai fungsinya masing-masing dan kapal selamat sampai Filipina," ujarnya memberi semangat di hadapan ratusan pegawainya.
Setelah mengecek identitas dan memastikan paspor seluruh awak lengkap, ia mempersilakan kembali menjalankan tugasnya di atas kapal.
Tapi, kekhawatiran sedikit muncul yang tampak dari raut wajahnya. Paspor milik delapan orang petugas katering belum lengkap.
"Kita tidak akan berangkat kalau ada satu orangpun yang tak berpaspor. Kita harus menunggu sampai semuanya beres," kata pria yang sehari-hari bertugas sebagai General Manager Divisi Niaga PT PAL Indonesia tersebut.
Beruntung, tidak lama setelah itu, delapan paspor milik petugas katering siap setelah diantar anak buahnya.
Selama perjalanan, Pak Bin tetap saja tak bisa tenang. Wajar saja, sebab dalam kurun waktu lima hari di laut, seluruh pekerjaan yang belum selesai harus sudah beres.
"Kalau tidak maka akan ada klaim dan mengurangi nilai. Kita juga harus buktikan kepada Filipina bahwa PT PAL memang bekerja baik," kata suami Yulinawati Wastomi tersebut.
Di bagian mesin, di bagian interior, di bagian pengecatan, di bagian las dan di bagian lainnya, Pak Bin tak pernah berhenti mengecek.
Istirahatnya hanya digunakan saat malam setelah rapat dengan tim dan merencanakan pekerjaan esoknya, serta memastikan pekerjaan hari itu beres.
Saat makan malampun, menantu almarhum Wastomi Suheri (Ketua Yayasan Suporter Surabaya) itu tak berhenti beraktivitas.
Di ruang makan, ia membawa lembaran-lembaran dan beberapa pena untuk diisi kolom oleh anak buahnya agar menulis apa yang dilakukannya pada hari itu.
"Hari ini apa yang sudah kamu lakukan, tulis di sini. Setelah makan, tolong beritahu temanmu agar mengisinya juga," katanya kepada salah seorang anak buahnya.
Persoalan makanpun tak luput dari sorotan Pak Bin. Di sela perjalanan, sejumlah awak mengeluhkan nasi yang belum terlalu matang dan ikan yang cepat habis. Ia pula yang akhirnya meminta petugas katering untuk lebih memperhatikan makanannya.
Produksi Divisi Kapal Niaga
Kapal perang BRP Tarlac jenis "Strategic Sealift Vessel" (SSV) adalah kapal perang perdana buatan PT PAL Indonesia yang diekspor ke luar negeri dan menjadi pengembangan dari kapal pengangkut jenis "landing platform dock".
Istimewanya, kapal pesanan Kementerian Pertahanan Filipina tersebut bukan diproduksi divisi kapal perang PT PAL, namun oleh divisi kapal niaga.
"Tapi kami tetap bersinergi dan bekerja sama untuk saling melengkapi. Intinya, kapal ini adalah buatan anak bangsa Indonesia," kata pria kelahiran Surabaya, 2 September 1972 itu.
Awalnya, kata dia, kapal sekelas SSV memang memerlukan dok panjang minimal 150 meter dan di PT PAL dok itu hanya dimiliki divisi kapal niaga sehingga proyek ini dibebankan ke pihaknya.
Karena BRP Tarlac 601 memiliki panjang 123 meter dan lebar 21,8 meter maka proses pengerjaannya harus dilakukan di dok Semarang yang dimiliki divisi kapal niaga.
"Sebenarnya ada satu lagi dok, yaitu dok Irian, tapi untuk reparasi kapal komersial maupun kapal perang. Karena itulah diputuskan dikerjakan di dok Semarang milik divisi kapal niaga," katanya.
Keputusan tersebut, lanjut dia, tak dijadikan beban oleh divisinya, justru menjadi pelecut dan tantangan bahwa divisi kapal niaga mampu memproduksi kapal perang.
Lulusan SMK PAL itu mengaku nyaris tak ditemui kendala selama proses produksi yang dibatasi hanya dua tahun tersebut, namun sedikit perbedaan adalah ukuran pelat kapal yang biasanya tebal, namun kali ini sedikit lebih tipis karena mempengaruhi kecepatan.
Sebanyak 936 orang dikerahkan membuat satu kapal perang, ditambah bantuan pihak ketiga yang berasal dari sub-kontraktor sebagai partner pengerjaan hingga proses selesai.
"Sub-kontraktor itu untuk mengerjakan penggerendahan, pemasangan peredam panas, ada juga bagian kebersihan. Kami sudah lama bekerja sama dan syukurlah selama ini tak ada kendala," kata pria yang tinggal di kawasan Gunung Anyar Surabaya tersebut.
Sejak keberadaan divisi kapal niaga pada tahun 1990-an, kata dia, sudah lebih dari 100 kapal yang diproduksi dan merupakan pesanan dari berbagai negara, seperti Jerman, Turki, Hong Kong dan Indonesia sendiri.
"Apalagi dulu saat jaya-jayanya kapal jenis bulkcarier atau kapal pengangkut muatan curah," kata pria yang tak sempat melanjutkan masa kuliah S-1 di Institut Teknologi Pembangunan Surabaya karena tuntutan pekerjaannya tersebut.
Tepat Waktu
Batas waktu yang diberikan Pemerintah Filipina selaku pemesan kapal perang BRP Tarlac 601 ini adalah 13 Mei 2016 atau tepat dua tahun saat pemesanan.
"Pokoknya, sebelum jam 12 malam waktu setempat, fisik kapal sudah harus ada di Pelabuhan Manila. Syukurlah selama lima hari non-stop dari Surabaya ke Manila, target itu dapat terwujud," katanya.
Ia mengakui mesin kapal perang BRP Tarlac memang dirancang dengan teknologi modern atau terbaru, sehingga semua juru mudi emua pelaut akan merasa lebih mudah, karena sistem yang ada dalam kapal semuanya terintegrasi.
"Produk kapal dari PT PAL Indonesia memang diakui mempunyai kualitas bagus di dunia pelayaran, bahkan beberapa negara juga mengakui ketangguhan mesin produk ini," katanya.
Ketepatan waktu pengiriman kapal selama ini menjadi kendala klasik dalam pembuatan kapal oleh PT PAL Indonesia, namun sejak saat ini "tradisi" tersebut sirna seiring ketepatan waktu BRP Tarlac.
Hal ini, kata dia, diharapkan menjadi bukti kepada dunia bahwa Indonesia mampu menyelesaikan pengerjaan pembuatan kapal secara tepat waktu dan merupakan sebuah kebanggaan bisa diwujudkannya.
Selain itu, ia berharap suksesnya pembuatan kapal perang BRP Tarlac menjadi tonggak membangkitkan kejayaan-kejayaan PT PAL Indonesia sekaligus sebagai bukti bahwa Indonesia tidak hanya hebat di dalam mengelola sumber daya kelautan, akan tetapi dengan pembuat matra laut berupa alat utama sistem persenjataan (Alutsista).
"Ini juga sesuai dengan tekad Presiden RI Joko Widodo yang mencanangkan Indonesia sebagai negara poros maritim," kata Pak Bin, yang baru menjadi orang nomor satu di divisi kapal niaga pada 2014 tersebut.
Di sisi lain, meski belum genap dua tahun menjabat, namun kinerjanya diakui sejumlah pihak, termasuk pimpinan-pimpinannya di perusahaan.
Berbekal pendidikan selama 3,5 tahun di SMK PAL ditambah sekolah bidang meister jurusan listrik dengan kurikulum Jerman selama 1,5 tahun yang bekerja sama dengan ITS, mampu membuatnya sebagai pemimpin yang disegani.
"Saya akui, kualitas Pak Bintoro memang hebat dan termasuk sukses meski baru duduk di posisinya," kata Direktur Produksi PT PAL Indonesia, Edi Widarto.
Tidak itu saja, pujian atas hasil produksi kapal pimpinan Pak Bin juga dilontarkan perwakilan dari Filipina, Francis Alexander R Jose, yang ikut dalam rombongan pengiriman kapal.
"Setelah tes dan manuver dengan kecepatan maksimal (16 knot), kapal tetap stabil dan memang kami akui kecanggihan dan kualitas teknologinya," kata Captain Jose, sapaan akrabnya.
Oleh Fiqih Arfani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016