Langkah Nahdlatul Ulama "menaturalisasi" Islam agar lebih bercita rasa Indonesia melalui konsep Islam Nusantara kini mulai dilirik dunia.

Konsep yang awalnya muncul sebagai refleksi antara Islam dan realita sosial budaya di Indonesia ini dianggap efektif untuk menghalau radikalisme agama yang mulai tumbuh subur belakangan ini.

Salah satu negara yang kepincut dengan konsep ini adalah Afghanistan.

"Islam Nusantara tidak terlalu liberal juga tidak terlalu ekstrem. Dia berada di tengah dan saya pikir ini solusi untuk masalah di Afghanistan. Konsep ini juga bisa diadaptasi di negara-negara konflik non-Muslim," kata Fazal Ghani Kakar, pendiri NU di Afghanistan.

Tak dimungkiri sejarah panjang Afghanistan menghadapi konflik telah membentuk mental radikal dan ekstremis pada sebagian besar masyarakatnya. Apalagi, faksi-faksi mujahidin yang ada membuat persatuan di Afghanistan kerap terganggu.

"Kami menemukan prinsip dasar Pancasila dapat mengubah mental dan perilaku orang-orang di Afghanistan. Menjadikan mereka yang ekstremis menjadi lebih lemah lembut dan moderat lalu bersatu untuk menghadapi konflik yang berlangsung," katanya.

Menurut Fazal, secara umum geliat NU di Afghanistan relatif cukup baik karena pemerintah Afghanistan mendukung penuh pembentukan organisasi Islam yang didirikan di Jombang Jawa Timur pada tahun 1926.

"Tidak ada kontradiksi dari pemerintah dan oposisi. Mereka mereka mendukung NU. Kami juga menjalin komunikasi dengan ulama Afghanistan yang tidak mengerti NU agar kita bisa bekerja dengan mereka dan menjelaskan prinsip NU," kata dia.

Dibentuk sejak 2011, NU Afghanistan secara mandiri menjalankan organisasinya. Namun, dalam menyelenggarakan lokakarya, tidak jarang mereka dibantu oleh NU Indonesia maupun Kedutaan Besar Indonesia untuk Afghanistan yang berada di Kabul, Ibu Kota Afghanistan. Saat ini, dari 34 provinsi yang ada di Afghanistan, NU Afghanistan sudah memiliki perwakilan di 22 provinsi.

"Selain itu, sudah ada 6.000 ulama yang bergabung dengan NU Afghanistan," katanya.

Mereka juga merencanakan membangun "Indonesia Islamic Center" seluas 10.000 meter persegi yang di dalamnya berisi masjid raya, perpustakaan, rumah sosial, dan klinik.

"Selama perang, kami kehilangan banyak infrastruktur, baik pendidikan maupun kesehatan, sehingga kami perlu membangun lagi. Insya Allah Indonesia Islamic Center ini dapat menjadi tempat untuk saling berbagi dan juga simbol persaudaraan Afghanistan dan Indonesia," katanya.

Tidak hanya Afghanistan yang NU-nya sudah aktif, Lebanon pun mengaku mulai tertarik dengan wacana Islam Nusantara. Wakil Mufti yang juga Imam Besar Masjid Lebanon Dr. Amin Kurdi menuturkan bahwa konsep Islam Nusantara yang disuguhkan NU mencerminkan "rahmatan lil alamin" sebagaimana yang terkandung dalam Alquran. Apalagi, ide ini muncul dari Indonesia yang notabene adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia.

"Maka dari itu, kami tertarik, kami lihat masyarakat Indonesia tidak memarginalkan kaum minoritas. Jadi, memang kebesaran agama Islam itu tidak mengastakan. Saya siap mendorong NU didirikan di Lebanon karena NU punya pengalaman Islam yang baik yang moderat dan toleran," kata Amin.

Ia pun optimis rencana pembentukan NU di Lebanon tidak akan tersandung oleh regulasi negara itu.

Menurut Amin, selain bebas mendirikan organisasi selagi sejalan dengan konsep pemerintah Lebanon, NU pun hanya perlu berkoordinasi dengan lembaga resmi Darul Fatwa yang ada di negara tersebut.

"Perlu juga dicatat pada bulan November 2015, Darul Fatwa sudah megadakan kerja sama dengan mengundang Wakil Ketua Pengurus besar NU Slamet Effendi Yusuf yang mengangkat tema yang juga dibicarakan sekarang, yakni Islam yang moderat," ujar dia.

Dengan adanya NU di Lebanon, Amir menilai akan ada keuntungan pula bagi NU. Letak Lebanon yang berada di tengah-tengah negara konflik, seperti Suriah, Palestina, bahkan Israel membuat NU bisa terjun langsung dan memberi kontribusi nyata dalam menyelesaikan konflik di negara-negara tetangga Lebanon.

"Barangkali bisa menjadi kebijakan politik luar negeri Indonesia untuk membebaskan Masjidilaksa," ucapnya.

Sekretaris PB NU Helmy Faisal Zaini menjelaskan ada beberapa negara yang tertarik untuk mendirikan NU atau organisasi mirip NU yang mengusung konsep Islam Nusantara di negaranya masing-masing.

"Ada sekitar tujuh negara yang menyatakan tertarik untuk mendirikan NU di negaranya, di antaranya Rusia, Lebanon, Sudan, juga Turki," kata Faisal.

Ia mengatakan ketertarikan negar-negara tersebut akan konsep Islam Nusantara bukanlah dari persuasi NU, melainkan dari negara-negara yang sudah mempelajari dan menerapkan konsep Islam Nusantara.

"Sebetulnya mereka terinspirasi dari beberapa negara yang sudah terlebih dahulu bergabung dengan NU melalui Pengurus Cabang Istimewa NU di luar negeri. Negara-negara, seperti Turki dan Maroko menyampaikan ternyata konsep Islam Nusantara itu adalah agama yang melebur dengan budaya lokal dengan mengedepankan toleransi," kata Faisal.

Faisal mengatakan bahwa konsep itu lebih mudah diterima oleh negara lainnya karena secara konsep hal tersebut merupakan sikap moderat agama yang melebur dengan budaya dan tradisi lokal.

NU sebenarnya telah memiliki 27 pimpinan cabang istimewa di luar Indonesia. Cabang istimewa ini diisi oleh orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri.

Namun, ada juga beberapa warga negara luar yang tertarik untuk bergabung dengan NU dan bisa menjadi pengurus.

"Saat ini ada lima negara yang sudah menjadi pengurus cabang istimewa NU," kata Faisal.

Menurut Faisal Pengurus Cabang Istimewa NU dengan negara yang ingin mendirikan NU secara mandiri itu adalah dua hal yang berbeda.

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016