Chicago (ANTARA News) - Hormon yang mengatur tekanan darah terbukti dapat mengurangi dampak kanker paru pada tikus dan hal ini bisa menjadi terapi baru untuk menangani penyakit berbahaya tersebut, demikian menurut hasil studi Wake Forest University School of Medicine yang dipublikasikan Kamis. Dalam penelitian skala laboratorium yang dilakukan para peneliti Amerika Serikat (AS) itu, sel kanker paru manusia dimasukkan pada tikus percobaan dan tikus-tikus itu kemudian diberi perlakuan dengan hormon angiotensin (1-7). Hasilnya, menurut temuan penelitian itu, jumlah tumor pada tikus percobaan yang diberi angiotensin mengecil hingga 30 persen. Sebaliknya, tikus yang diberi perlakuan dengan garam, tumornya membesar hingga dua kali dari ukuran sebelumnya setelah 28 hari penelitian. Peneliti diingatkan akan hormon yang potensial sebagai anti-kanker oleh studi sebelumnya yang menemukan bahwa laju kanker paru cenderung lebih rendah pada orang-orang yang mendapat pengobatan tekanan darah tinggi dengan jenis obat penghambat ACE. Obat itu meningkatkan produksi hormon angiotensin (1-7) di dalam aliran darah dan membantu menurunkan tekanan darah dengan memperbesar atau memperluas pembuluh darah. Para peneliti percaya hormon anti-kanker tersebut berpengaruh terhadap penurunan kadar enzim yang disebut COX-2 atau cyclooxgenase-2, yang menerangkan pertumbuhan sel. "Ini bekerja seperti alat penyuram pada lampu," kata Patricia Gallagher, salah satu penulis makalah yang berasal dari Wake Forest University Baptist Medical Center di Winston Salem, North Carolina, AS. COX-2 ditemukan dalam level tinggi pada 70 persen hingga 90 persen tumor paru ganas. Para peneliti dari Pusat Kanker (Comprehensive Cancer Center) di universitas tersebut selanjutnya berencana memulai percobaan kecil mengenai hormon-hormon dalam paru-paru manusia bulan depan. "Kami berharap uji klinik kami pada angiotensin (1-7) bisa menjadi jalan bagi teridentifikasinya pengobatan kanker efektif yang baru," kata Direktur Pusat Kanker, Frank Totti. Kanker paru merupakan kanker yang paling mematikan. Sekitar 14 persen orang yang menderita keganasan tersebut hanya dapat bertahan hidup hingga lima tahun, demikian menurut informasi dari jurnal Cancer Research. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007