Jakarta (ANTARA News) - Draf RUU tentang Pemilihan Presiden yang diajukan pemerintah dan mensyaratkan pendidikan formal agar presiden harus minimal berpendidikan sarjana strata satu [S1] diniliai membatasi hak seseorang dan tidak substantif. "Banyak intelektual tidak memiliki ijazah sarjana. Yang penting itu kemampuan seseorang untuk memimpin," kata pengamat politik Dr Fachry Ali di Jakarta, Kamis. Fachri yang memimpin Lembaga Studi Pembangunan dan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) ini berharap sebaiknya draf RUU Pilpres itu jangan terkesan mencari-cari yang bersifat resmi. Yang penting itu, dia sehat dan memiliki kemampuan sebagai pemimpin. "Dulu persyaratan seperti itu kan untuk menjegal seseorang, sekarang ini sebaiknya difokuskan bagaimana penyelenggaran pilpres itu lebih baik," katanya. Anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) DPR Ferry Mursidan Baldan menilai persyaratan pendidikan S1 sebaiknya tidak perlu dicantumkan sebagai pasal persyaratan. "Saya merasa agak aneh saja, karena revisi UU Pilpres ini bukan berarti membuat RUU baru, tetapi hanya menyempurnakan," katanya. Dia mengakui, memang draf itu bukan harga mati dan masih bisa dicarikan komprominya. Karena apa yang diusulkan pemerintah itu belum tentu disetujui semuanya oleh fraksi-fraksi di DPR. "Seharusnya penyempurnaan itu tidak merembet ke mana-mana," katanya. Justru yang dikhawatirkan adalah berlarut-larutnya pembahasan revisi ini sehingga tak sesuai dengan target waktu. "Kita berharap April 2007 draf itu sudah bisa dibahas di DPR sehingga Oktober-Nopember 2007 bisa selesai," katanya. Adnan Anwar dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi (LP3ES) juga berpendapat yang sama, persyaratan formal S1 itu tidak perlu karena untuk mengukur kualitas intelektual bukan dari ijazah. "Intelektual bukan dari pendidikan formal, banyak doktor yang tidak intelektual," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007