Batu Hijau, Sumbawa Barat (ANTARA News) - Departemen ESDM menawarkan kepada Departemen Kehutanan opsi denda progresif bagi lingkungan yang terganggu di areal penambangan sebagai pengganti terhadap ketentuan dalam peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14 Tahun 2006. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral dan Batubara Departemen ESDM, M Marpaung di Batu Hijau, Kamis, mengatakan, usulan tersebut masih terus dibahas pihaknya dengan Departemen Kehutanan. Dalam Permenhut Nomor 14 Tahun 2004 disebutkan, perusahaan pertambangan wajib menyediakan lahan yang luasnya dua kali dari luas tambang dengan catatan lahan itu harus berada di dekat lokasi penambangan. Menurut Marpaung, hal itu sulit diterapkan bagi tambang batubara dan nikel. "Sulit Kepmen itu diterapkan di Indonesia karena banyak sektor-sektor yang membutuhkan lahan, apalagi dengan cara mengganti lahan itu dengan dua kali lipatnya dan lahannya harus clean and clear," kata Marpaung. Pihak Dephut sebelumnya juga pernah mengusulkan opsi penggantian sebesar satu persen dari pendapatan perusahaan untuk mengganti lingkungan yang terganggu akibat penambangan. Opsi itu, lanjutnya, juga tidak fair dan langsung ditolak pihaknya apalagi jika luasan lahan itu diterapkan untuk lahan batu kapur. "Harusnya peraturan itu equal treatment bagi mereka yang menggunakan lahan hutan," katanya. Dengan denda progresif itu, menurut dia, pihak penambang akan menyediakan dana yang besarnya tergantung dari luas lingkungan yang terganggu. Artinya semakin besar lingkungan yang terganggu, akan semakin besar dendanya. "Ini mirip dengan pajak kendaraan bermotor, semakin banyak kendaraan yang dimiliki, semakin besar pajaknya," katanya. Dengan opsi denda progresif, katanya, penambang akan berupaya untuk menggunakan luasan lahan secara terbatas. Sementara mengenai berapa besar kompensasi dendanya ia mengatakan sedang dirumuskan dnegan pihak Departemen Kehutanan.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007