Saya kira nanti ada teman-teman yang akan bertemu dengann badan legislatif (baleg), supaya ini masuk dalam prolegnas 2016,"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan dukungannya terhadap Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diajukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
"Saya kira nanti ada teman-teman yang akan bertemu dengann badan legislatif (baleg), supaya ini masuk dalam prolegnas 2016," ujar Menteri Yasonna dalam sebuah agenda penyampaian aspirasi kekerasan seksual di Jakarta, Kamis.
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Yasonna juga mengajak Komnas Perempuan dan seluruh aliansinya untuk terus bekerja sama dengan DPR-RI agar RUU tersebut bisa segera diproses.
"Apalagi ini sudah ada kajian akademiknya dan rancangannya pun sudah dibuat, tinggal kita baca saja," tutur Menteri Yasonna menambahkan.
Dia menjelaskan, RUU penghapusan kekerasan seksual tersebut diharapkan bisa diselesaikan dan disahkan secepatnya pada tahun ini.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo yang berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Pembangungan Manusia dan Kebudayan Puan Maharani juga telah sepakat untuk memberatkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, ujar Menteri yasonna.
Pemberatan hukuman tersebut, ujarnya melanjutkan, akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
"Semoga perppu ini juga bisa diselesaikan usai masa sidang 2016," kata Menteri Yasonna.
Lebih lanjut dia menjelaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini tentu berbeda dengan Perppu yang akan disahkan presiden.
Dalam Perppu tersebut lebih menekankan dan spesifik pada perlindungan terhadap anak-anak dari kekerasan seksual.
"Kemarin pemerintah sudah tegas, presiden arahannya jelas bahwa ada kebutuhan mendesak agar bagaimana bisa memberikan perlindungan anak-anak dalam kekerasan seksual," ujarnya menjelaskan.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengatakan, tindakan kekerasan seksual tidak hanya sebatas pemerkosaan, namun juga berupa pemaksaan berhubungan intim, penyiksaan seksual, hingga perbudakan seksual dan lain sebagainya.
Ia pun memaparkan, hingga saat ini akses korban untuk mendapatkan pembelaan dan proses di jalur hukum masih buruk, terlebih hingga tahap mendapatkan kebenaran.
"40 persen kasus yang dilaporkan berhenti di kepolisian, 10 persen sampai ke pengadilan. Sisanya hanya diselesaikan dengan cara mediasi," ucap Wahyuni, memaparkan.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016