Washington (ANTARA News) - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menyatakan bahwa penyuapan mengisap antara 1,5 triliun dan 2,0 triliun dolar AS per tahun di seluruh dunia, menyeret turun ekonomi dan memperburuk pelayanan sosial bagi masyarakat miskin.
Dalam laporan terbarunya tentang dampak korupsi terhadap ekonomi, Rabu (11/5), IMF mengatakan bahwa penyuapan, korupsi dan kecurangan umum lain di negara-negara kaya maupun miskin membatasi pertumbuhan ekonomi dan melemahkan kekuatan kebijakan pemerintah.
Dalam sebuah pidato yang dipersiapkan untuk Konferensi Tingkat Tinggi Anti-Korupsi Global di London pada Kamis, Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde mengatakan bahwa semakin banyak para pemimpin yang secara terbuka mencari bantuan untuk memerangi momok tersebut.
"Keduanya, kemiskinan dan pengangguran, bisa menjadi gejala korupsi kronis," kata dia, menurut teks pidatonya.
"Sementara biaya ekonomi langsung dari korupsi sudah sangat diketahui, biaya tidak langsungnya mungkin bahkan lebih besar dan melemahkan, menyebabkan pertumbuhan rendah dan ketimpangan pendapatan yang lebih besar."
Lagarde menolak pendapat bahwa korupsi merupakan fenomena budaya yang membandel di banyak negara. Faktanya, itu umum di seluruh budaya, dan negara-negara dengan berbagai latar belakang telah menemukan cara untuk mengatasi itu, kata dia.
Ia mencatat, mendiang pemimpin Singapura Lee Kuan Yew "sangat efektif dalam memberi sinyal kebijakan toleransi nol terhadap korupsi maupun membangun lembaga yang kompeten pada saat korupsi meluas di Singapura."
Dampak ekonomi dari korupsi sulit untuk dihitung, menurut laporan IMF yang dirilis pada Rabu. Tapi meskipun ada klaim bahwa itu membantu "melumasi roda-roda" untuk membuat ekonomi bekerja, dampaknya secara keseluruhan sangat negatif.
Biaya suap sendiri mencapai lebih dari dua persen dari produk domestik bruto -- ukuran luas keluaran ekonomi -- dan karena itu ternoda, uang tersebut sering disedot keluar dari negara-negara bersangkutan ke offshore havens, tempat-tempat berlindung di luar negeri, yang berarti itu tidak memberikan kontribusi pada pertumbuhan.
Korupsi melanggengkan inefisiensi ekonomi, menekan kebijakan publik, dan memperburuk ketimpangan menurut laporan itu. Hal itu juga menakutkan para investor domestik maupun asing.
"Investor sebenarnya mencari negara yang dapat memberikan mereka jaminan bahwa, setelah investasi dilakukan, mereka tidak akan diperas dengan menyediakan suap," kata Lagarde.
Laporan itu menyatakan, data menunjukkan bahwa korupsi yang lebih tinggi umumnya berkorelasi dengan pelayanan sosial yang lebih rendah bagi masyarakat miskin.
Itu sebagian karena anggaran pemerintah di negara-negara lebih korup penuh dengan berbagai jenis pengeluaran -- seperti proyek-proyek tiket besar -- yang menawarkan peluang korupsi lebih besar.
Lagarde mengatakan bahwa IMF memasukkan panduan kebijakan anti-korupsi dalam program-program bantuan bagi pemerintah, karena "korupsi yang meluas membuat kebijakan fiskal yang sehat lebih sulit dijalankan."
Pendekatan tertentu telah terbukti efektif di sejumlah negara: membayar pegawai negeri sipil lebih besar; menyiapkan pengadilan khusus anti-korupsi; menghukum perusahaan-perusahaan untuk praktek korupsi di negara lain; dan mendirikan kantor khusus untuk mengumpulkan pajak dari wajib pajak terbesar guna meningkatkan kepatuhan.
Tetapi Lagarde juga menekankan perlunya aturan hukum dan kepemimpinan tegas. "Penuntutan 'ikan besar' yang kuat -- yang diperlukan untuk mengirim sinyal jelas dari komitmen dan perubahan -- hanya dapat dicapai jika seorang pemimpin negara tampak mendukung proses tersebut," katanya seperti dilansir kantor berita AFP.(Uu.A026)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016