Jakarta (ANTARA News) - Jauh dari mudah layaknya menyuap makanan dari sendok ke mulut atau menyeruput secangkir kopi hangat berteman aneka gorengan, tentu prestasi menjulang Leicester City di kompetisi Liga Inggris musim 2015/16, menunjuk kepada satu resep sukses menjadi bos dengan berkata dan bertindak gagah berani.
Ingin menjadi bos yang sukses? Ingatlah selalu bahwa keberanian berlawanan dengan sikap mencari aman atau ngumpet menjaring keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa bersedia berbagi kepada rekan tim.
Di mata Claudio Ranieri, kemenangan di kompetisi Liga Inggris merupakan tuah dam buah asa dari para prajurit yang berlaga gagah berani.
Menjadi sosok yang gagah berani? Ini pesan yang kerap ditiupkan oleh Ranieri sebagai bos kepada Jamie Vardy dan kawan-kawan sebagai resep sukses meraih kemenangan.
Kemenangan atau kesuksesan bukan jatuh menggelepar kemudian tinggal memungutnya sebagai anugerah langit.
Mengamini keberanian berarti mengamini kemenangan. Pelatih berpaspor Italia itu berpesan kepada para pemain bintang Leicester agar tetap menantang badai setiap kompetisi bola, bukan sebatas keluar sebagai juara Liga Inggris, melainkan terbentang Liga Champions di musim depan.
Bertempurlah satu lawan satu dalam jalinan kerjasama apik secara tim. Rumus ini khas ditanamkan oleh Ranieri sebagai bos dalam relung hati skad berjuluk The Foxes. Terang benderang, bahwa skema gagah berani bertarung dan berlaga tercermin dalam pertandingan di King Power Stadium, Sabtu (7/5).
Rumus berani ala Ranieri menyebutkan bahwa "burulah lawanmu yang berusaha menahanmu, dan patahkan serangan lawan dengan mundur secara bersama-sama." Ini diperagakan secara disiplin The Foxes ketika menang 3-1 melawan Everton, dan Vardy mencetak gol lagi.
Merujuk ke belakang, Ranieri lahir dan dibesarkan dari tanah air sepak bola bercengkok cattenaccio atau pertahanan grendel. Ini tertanam lantaran pelatih yang lahir pada 20 Oktober 1951 itu di Roma, Italia berkiprah sebagai pemain di AS Roma, Catanzaro, Catania, dan Palermo.
Segepok pengalaman sebagai pemain dan segudang karier sebagai pelatih kemudian melahirkan pemain bertalenta, antara lain Vardy. Dan pemain yang disebut terakhir ini kontan memberi bukti dengan mencetak dua gol.
Dua gol Vardy itu menambah koleksi golnya menjadi 24 sampai pekan ke-37 kompetisi Liga Inggris. Gol pertama diciptakannya di menit kelima, sementara gol kedua dilesakkan dari titik penalti di menit ke-65.
Sebagai sosok yang menghidupi Renaissance Italia, jelas bahwa Ranieri menyukai kehidupan berkesenian dan berkebudayaan sebagai gizi jiwa. Ia mencintai dan mengasihi kesenian, barang-barang antik, membaca buku dan...menyukai berbagai masakan negerinya sendiri.
Sebagai bos, Ranieri mengetahui dan menerapkan satu kata krusial dalam setiap pertempuran yakni "strategia" yang mutlak dimenangkan dengan keberanian, bukan justru dengan kepengecutan, apalagi mencari aman.
Di tengah deru kompetisi Liga Inggris yang melaju dengan kencang dengan jadwal super ketat, jelas-jelas bahwa pelatih yang layak dipanggil sebagai Opa itu mengetahui cara memimpin dan mengatur pasukan.
Di pinggir lapangan, ketika menyaksikan aksi anak buahnya bertarung, Ranieri kerapkali menyunggingkan senyum dan menunjukkan wajah semringah. Selebrasinya begitu sederhana ketika pasukannya mencetak gol. Ia mengepalkan kedua tangannya seraya berlari kecil untuk melampiaskan kegembiraan dan mencetuskan sukacita.
Ketika menjabat sebagai bos - sebagai pelatih kepala - di Chelsea pada September 2000 sampai 2004, Ranieri mengalami tekanan bertubi-tubi dan hambatan tak terkira. Apa reaksinya? Ia justru bersikap tenang menyelesaikan semua tugas-tugasnya dengan menanamkan disiplin kepada para pemain dan seluruh staf pelatih.
Selama meniti karier sebagai pelatih kepala di Stamford Bridge, tidak sedikit pandit angkat topi dengan gaya dan pembawaannya yang sangat becitarasa kultural. Ketika usianya masih 48 tahun dan kali pertama tiba di London, ia mangalami kesulitan berkomunikasi dengan berbahasa Inggris.
Bermodal kerendahan hati dan keyakinan diri, Ranieri menerima uluran bantuan seorang staf pendukung Chelsea Gary Staker untuk memberi pelajaran bahasa Inggris.
Ia ingin mengatakan kepada para bos yang menduduki jabatan apapun di instansi manapun bahwa milikilah kerendahan hati dan hiduplah dengan keyakinan diri dengan selalu belajar dari orang lain, apapun perbedaannya.
Jangan enggan belajar dari keragaman, dan jangan alergi dengan perbedaan. Di musim perdana di Liga Inggris, Ranieri membuat banyak perubahan formasi, dengan merotasi dan melakukan "bongkar pasang" pemain.
Ia hanya tersenyum ketika ditanya wartawan Inggris mengenai alasan melakukan hal itu. "Saya mendengar apa yang mereka katakan dan tanyakan," kata Ranieri. "Saya kemudian bertanya kepada guru bahasa Inggris mengenai arti kata 'tinkerer'?"
Ranieri menikmati betul dinamika hidup di London. Sebagai anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai penjual daging, ia punya sederet restoran favorit di kota itu. Restoran Lebanon dan India menjadi langganannya. Ia juga menyukai aneka bumbu masakan ala Lincolnshire yang dibeli dari pasar Newark.
Inti dari "strategia" yang dipraktekkan dan dilakoni Ranieri yakni belajar...belajar...belajar. Ketika berada di London, ia bersama istrinya kerapkali meluangkan waktu berkeliling kota itu dengan menggunakan transportasi kereta bawah tanah.
"Ketika kami berada di London, kami kerapkali mengunjungi berbagai toko furniture, gelas dan porselen," kata Rosanna Ranieri, sang istri yang suka mengoleksi barang-barang antik bernilai historis. Tidak jarang, ia "blusukan" bersama istrinya ke berbagai pelosok kota Roma untuk memburu guna mendapatkan barang-barang antik dari abad ke-16.
Ranieri dikenal sebagai penyuka dan pengoleksi lukisan-lukisan karya Monet, Van Gogh and Picasso. Ia tidak jarang terlibat diskusi mengenai barang-barang kesenian bersama koresponden sepak bola Inggris, Michael Hart. "Ya, Picasso. Unik tapi oke saja. Istri saya seorang ahli bidang itu, meski saya suka dengan barang seni yang umum saja. Saya suka Van Gogh," kata Ranieri.
Mengenai sepak bola, ia dikenal sebagai sosok yang memuja "cita rasa semangat khas Inggris" dengan memberi kepercayaan diri penuh kepada penggawa berusia muda dan pemain yang tidak mudah menyerah. "Saya mulai banyak bekerja dengan para pemain muda ketika masih berada di Cagliari."
Ranieri dikenal sebagai sosok kutu buku. Pada Oktober 2003, ia mengaku siap membawa tiga buku untuk dibaca ketika melakukan perjalanan ke manapun, utamanya perjalanan ke luar kota.
"Saya tidak punya banyak waktu untuk rileks. Saya lebih memilih mengisi waktu luang dengan banyak membaca," kata Ranieri. "Buku-buku berbahasa Italia, karena saya kerapkali kembali ke rumah sudah larut malam. Saya teramat lelah dan sulit juga belajar bahasa Inggris."
"Buku pertama yang saya baca (ketika berada kali pertama di London) ditulis oleh seorang wartawan Italia bernama Beppe Severgnini. Buku itu memuat segala sesuatu mengenai kultur dan kebudayaan Inggris."
"Buku kedua mengenai kepemimpinan (bagaimana menjadi bos), berisi perjalanan dan pengalaman hidup walikota New York Rudolph Giuliani, dan buku ketiga mengenai kehidupan pastor Katolik yang berkarya di gereja-gereja di Napoli. Mereka bekerja dan berkarya untuk anak-anak jalanan di sana," kata Ranieri.
Rumus jitu menjadi bos ala Ranieri diungkapkan dalam pepatah Latin klasik, Sine labore non erit panis in ore, yang artinya tanpa kerja, tidak akan dapat apa-apa.
(T.A024)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016