Lembata, NTT (ANTARA News) - DPRD Lembata, Nusa Tenggara Timur, mendukung pengembangan plasma nutfah lokal sebagai pangan pokok unggulan dan siap menyuarakan kabupaten itu menjadi sentra sorgum.
"Jika dilihat kenyataannya hari ini ternyata sorgum justru menghasilkan lebih baik di daerah ini. Karena itu jika per provinsi kita diminta memiliki produk tanaman unggulan, misalnya, NTT menyebut siap menjadi provinsi jagung, maka kami siap menyuarakan Lembata sebagai kabupaten sorgum," kata Ketua DPRD Lembata Ferdinandus kepada Antara di Lembata, NTT, Rabu.
Panen perdana tanaman serealia bernama latin Sorghum bicolor di Desa Waikerong, Kecamatan Nagawutun dan desa lainnya di Lembata ini, menurut dia, memberi pelajaran bagi masyarakat Lembata tentang tanaman pangan unggulan yang cocok dengan iklim panas yang ekstrem dan curah hujan sangat rendah.
Pemerintah Kabupaten Lembata, kata dia, harus berani menyuarakan sorgum sebagai tanaman unggulan yang menjadi sumber pangan pokok, meski secara nasional pemerintah pusat menargetkan swasembada beras, jagung dan kedelai.
"Sehingga diharapkan program pertanian pemerintah pusat hingga daerah dapat berpihak pada petani sorgum ini," katanya.
Hingga saat ini sorgum belum masuk dalam program pendanaan pertanian di Lembata, meski telah menjadi bahan makanan pengganti beras, ujar dia.
"Itu sebenarnya kita sudah suarakan kepada eksekutif, cuma saat RKA (Rapat Kerja Anggaran) tidak dimasukkan, padahal arahan kita (dewan) sudah jelas," katanya.
"Akan coba kita perjuangkan di masa sidang kedua yang mulai pada bulan Mei ini, harapannya sorgum dapat juga diberikan anggaran di 2017," ujar Ferdinandus.
Fasilitas
Penguatan kapasitas sumber daya manusia dan dukungan fasilitas pertanian pascapanen serta khususnya ketersediaan air menjadi kebutuhan petani sorgum di Desa Waikerong, kata pendamping petani sorgum dari Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) Yerry Letor.
Varietas yang ditanam di Desa Waikerong sama dengan yang ada di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT. Sorgum yang berasal dari Sumba ini, menurut dia, paling cocok dengan kondisi iklim di kedua desa yang didampingi Yasfensel dari Keuskupan Larantuka.
Hanya dengan periode hujan satu kali dalam masa tanam, menurut dia, sorgum terbukti dapat tumbuh. Namun demikian air juga tetap diperlukan untuk bisa memperoleh hasil panen yang jauh lebih baik.
"Lahan dan iklim di kedua desa ini hampir sama, berbatu, kering, curah hujan sangat rendah sehingga padi dan jagung pun tidak hidup di sana. Sorgum varietas ini saja yang ternyata bisa bertahan dan 100 persen menghasilkan di sana," ujar dia.
Direktur Program Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) Teguh Triono mengatakan, sorgum merupakan pangan lokal bergizi tinggi dan sangat baik dikonsumsi penderita penyakit diabetes karena berserat sangat tinggi sekaligus menjadi antioksidan.
Kelebihan lain yang dapat dinikmati petani sorgum di Indonesia, khususnya di NTT adalah kesempatan untuk melakukan tiga kali panen dalam satu kali masa tanam.
"Sekali tanam panen berulang ini sebagai anugerah. Karena di Tiongkok hanya sekali panen tapi di sini bisa tiga kali dengan bantuan sedikit lebih banyak air pada masa tanam," ujar dia.
NTT berhasil melakukan panen raya sorgum hingga mencapai 260 ton di awal 2016 dari dua kabupaten, yakni Flores Timur dengan total produksi mencapai hingga 200 ton dan Lembata dengan produksi mencapai hingga 60 ton.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016