Perempuan berusia 65 tahun itu bergabung bersama sukarelawan dari berbagai negara untuk bekerja di kawasan konservasi orangutan milik Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Hutan Samboja Lestari.
Mereka membantu berbagai kegiatan untuk merehabilitasi orangutan di kawasan konservasi seluas 1.800 hektare itu, mulai dari menyiapkan makanan, membuat sarang, membangun kandang, dan mengurus kebun.
Bersama sukarelawan yang lain, Angela, yang matanya berbinar setiap bercerita tentang orangutan, bekerja dari Senin hingga Jumat.
Mereka bekerja tanpa bayaran, bahkan harus merogoh kocek sendiri untuk mengikuti program sukarela tersebut, dan menanggung biaya sewa penginapan sekitar Rp600 ribu per malam di Samboja Lodge, penginapan asri di kawasan konservasi itu.
"Besok adalah hari terakhir saya," kata Angela, yang pada Kamis (28/4) sudah dua minggu berkutat dengan kegiatan rehabilitasi orangutan.
"Benar-benar pengalaman luar biasa bisa merasa dekat dengan orangutan. Saya senang bisa berada di sini, bekerja macam-macam," ujarnya.
Sementara Maggie (62) datang ke Samboja untuk mewujudkan mimpinya bersama sang suami bertahun-tahun silam.
"Kami punya mimpi bersama-sama menjadi sukarelawan di sini, tetapi dia meninggal tiga tahun lalu akibat kanker. Tetapi saya tetap berusaha menghidupkan mimpi kami berdua. Dan saya ada di sini sekarang," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kalau rata-rata sukarelawan hanya bekerja dua pekan dengan BOS, Maggie memilih tinggal lebih lama, satu bulan.
Bagi perempuan yang di negara asalnya, Inggris, sehari-hari bekerja sebagai petani itu, pekerjaan di tempat rehabilitasi orangutan bukan hal yang sulit.
"Kadang lucu, kami butuh waktu lama untuk menyiapkan makanan mereka tetapi mereka menikmatinya hanya dalam sekejap. Tetapi itu menyenangkan. Saya masih kuat," ujarnya.
Bekerja di Samboja membuat dia merasa lebih dekat dengan spesies kera besar yang hidup di hutan tropis. Dan orangutan bernama Koprol, yang tidak bisa dilepasliarkan karena cacat, telah mencuri hatinya.
"Dia cacat tidak punya tangan karena tersetrum. Pemiliknya sempat ingin membunuhnya tetapi kemudian dibawa ke sini. Dan yang terjadi saat dia berada di hutan, dia langsung memanjat pohon menggunakan kakinya," tutur Maggie, yang terharu mendengar kisah si Koprol.
"Saya sangat terkesan dengan dia, dengan semangatnya meskipun sudah tidak mempunyai tangan. Dia juga pintar. Maka setelah pulang dari sini, saya memutuskan akan tetapi memberi donasi untuk dia," katanya.
Ia berharap orangutan-orangutan lain di kawasan konservasi itu bisa dilepasliarkan kembali ke habitat alami mereka dan hidup dengan nyaman.
Dukungan Relawan
Koordinator Samboja Lodge Fiska Oktorina mengatakan keberadaan program sukarelawan cukup membantu pekerjaan 80 teknisi orangutan di kawasan konservasi.
Pemasukan uang dari para sukarelawan, menurut dia, juga menambah sumbangan dana untuk membiayai kebutuhan sehari-hari orangutan di sana.
"Mereka bekerja sesuai kebutuhan, tetapi mereka tetap bayar untuk menginap di Samboja Lodge yang merupakan bagian dari donasi untuk orangutan," jelas Fiska.
Menurut Fiska program sukarelawan itu sudah lama dibuka oleh Yayasan BOS. Peminatnya kebanyakan masih orang-orang asing.
"Kami pernah tutup sementara program ini, baru mulai tahun 2014 dibuka lagi bekerja sama dengan The Great Project," ujarnya.
Mereka yang ingin menjadi sukarelawan, terlebih dulu harus menjalani pemeriksaan kesehatan untuk memastikan mereka tidak menularkan penyakit ke orangutan.
Di kawasan konservasi yang dibangun tahun 1991 itu, Yayasan BOS merehabilitasi 206 orangutan.
Mereka melatih orangutan-orangutan tersebut agar memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di alam liar. Orangutan rata-rata membutuhkan waktu sepuluh tahun sampai siap dilepasliarkan ke alam liar.
Yayasan BOS telah melepasliarkan 41 orangutan di Hutan Muara Wahau, Kutai Timur, sekitar 20 jam perjalanan menggunakan kendaraan dari Samboja.
BOS menyewa hutan seluas 86.000 hektare dari pemerintah untuk melepasliarkan orangutan, mengembalikan orangutan ke rimba habitat mereka.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016