"Apabila pemahaman bahwa agama dan nasionalisme merupakan satu hal yang tidak bisa dipisahkan sudah mengakar dalam suatu bangsa maka tidak akan ada perang maupun kekerasan atas nama apa pun," kata dia, dalam pembukaan International Summit of the Moderate Iskamic Leaders (ISOMIL), di Balai Sidang Jakarta, Senin.
Menurut Siradj, kiai-kiai pesantren di Indonesia berhasil membangun jembatan antara prinsip agama dan negara. Hal itu berbeda dengan kondisi di Timur Tengah yang tidak memiliki konsep titik temu antara agama dan negara, antara Islam dan prinsip kebangsaan.
"Konflik yang terjadi di Timur Tengah tidak akan selesai jika belum ada titik temu antara prinsip agama dan prinsip negara," kata lulusan Universitas Ummul Qura, Mekkah, Arab Saudi itu.
Ia menuturkan, kesatuan antara agama dan nasionalisme di Indonesia telah menjadi perhatian bangsa asing yang ingin memecah bangsa Indonesia sejak dahulu.
"Kita masih ingat, kaum penjajah melakukan berbagai upaya untuk memisahkan antara Islam dan nasionalisme. Dan hal ini ingin dilakukan lagi oleh pihak-pihak yang tidak mau melihat bangsa kita kuat dan maju," katanya.
Dia mengajak peserta ISOMIL untuk meneladani pemikiran pendiri NU Hadratussyaikh, KH Hasyim Asyari, dalam memahami kaitan antara agama dan nasionalisme.
Asyari menganggap kesatuan antara agama dan nasionalisme merupakan satu fondasi kokoh untuk menghadapi berbagai macam tantangan bangsa seperti kebodohan, keterbelakangan. dan ancaman perpecahan bangsa.
Menyitir pernyataan Asyari, kemudian Siradj mengatakan, menegakkan agama dan nasionalisme merupakan salah satu kewajiban bagi mereka yang merasa mempunyai iman.
Menyitir pernyataan Asyari, kemudian Siradj mengatakan, menegakkan agama dan nasionalisme merupakan salah satu kewajiban bagi mereka yang merasa mempunyai iman.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016