Jakarta (ANTARA News) - "Indonesia Palm Oil Pledge" (IPOP) adalah kesepakatan antara para pelaku usaha industri sawit Indonesia dengan pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang ditandatangani bersama di New York dalam acara "Climate Conference" pada September 2014.

Penandatanganan bersama deklarasi perusahaan sawit Indonesia berkaitan dengan praktik keberlanjutan tersebut disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Amerika Barack Obama.

Isi dari kesepakatan itu menyebutkan, para pelaku usaha industri sawit Indonesia mengadopsi "sustainability policy" (kebijakan berkelanjutan) yang meliputi "no deforestation", "no peat", dan "no exploitation" dalam perusahaan mereka masing-masing serta diberlakukan kepada seluruh rantai pasoknya melalui "traceability".

Sepintas kelihatan baik, karena memang konteksnya adalah penerapan "sustainability" dengan kriteria yang lebih agresif. Namun substansi dan prosesnya kurang bisa diterima dalam konteks aturan hukum di Indonesia serta berpotensi mengganggu pengembangan industri sawit sendiri.

"No deforestation" didefinisikan tidak membuka lahan di areal yang masih bagus tutupan hutannya ("high carbon stock"-HCS). Greenpeace membuat kriteria 35 ton/hektare sebagai batasan maksimum atau kira-kira diidentikkan dengan belukar tua.

Artinya, lahan bertutupan belukar tua dan seterusnya tidak boleh dibuka untuk sawit, walaupun areal tersebut status tata ruangnya APL (area penggunaan lain) dan sudah memiliki izin lengkap.

Kebijakan itu bertentangan dengan regulasi di Indonesia. Undang-undang Kehutanan (No 41/1999) juga tidak mengenal HCS. Selama suatu areal berada di luar kawasan hutan atau sudah mendapat izin pelepasan kawasan hutan, maka areal itu boleh dibudidayakan.

Sementara itu "no peat" didefinisikan tidak menanam di lahan gambut pada kedalaman berapa pun. Kepres no 32/1990 tentang kawasan lindung melarang gambut dengan kedalaman tiga meter dan lebih untuk kegiatan budi daya, diikuti oleh Permentan 14/2009 tentang Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Sawit.

Inpres No 10/2011 tentang Penundaan izin baru di lahan gambut dan hutan primer seolah mengakhiri polemik tersebut. Tetapi perdebatan mengenai gambut tak berujung hingga saat ini.

Para ilmuwan berbeda pendapat. Lembaga profesi resmi yaitu Himpunan Gambut Indonesia mempunyai sikap untuk memilih pemanfaatan gambut secara "sustainable" (berkelanjutan) dibanding dengan pelarangan total pemanfaatan gambut.

Di sisi lain, "no exploitation" didefiniskan tidak melakukan praktik yang melanggar aspek sosial, seperti tidak memenuhi hak-hak karyawan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan konflik dengan masyarakat setempat.

Point terakhir yaitu "traceability" menuntut semua kriteria tadi harus diberlakukan terhadap seluruh rantai pasok perusahaan. Artinya, jika salah satu perusahaan dalam rantai pasok tidak patuh dengan kriteria tadi, maka perusahaan itu tidak bisa menjual produknya kepada pembeli, dalam hal ini perusahaan "signatories" (penandatangan IPOP).

Suatu perusahaan "dihukum" oleh perusahaan lain dengan cara tidak membeli produk-produknya. Dengan demikian, pilihannya adalah "ikut" atau "tidak dibeli".

Beberapa perusahaan besar membuat "sustainability policy" yang berisi "triple no" di atas pada awalnya adalah karena kampanye Organisasi Non Pemerintah (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menyerang dirinya maupun pembelinya.

Pembeli-pembeli perusahaan Eropa dan Amerika Serikat, karena tidak ingin reputasi merk globalnya terganggu memilih mengakomodir NGO dimaksud. Perusahaan sawit pemasok pun diancam diputus kontrak penjualannya dan dijatuhkan reputasinya.

Group perusahaan sawit pemasok inilah yang kemudian memberlakukan hal serupa kepada perusahaan suppliernya, termasuk petani. Proses perusahaan mendeklarasikan standar/kriteria baru tentang "sustainability" ini didorong ("diperintah") oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Norwegia.

Buktinya, Pemerintah AS meminta langsung kepada perusahaan Indonesia untuk mendeklarasikan ("pledge") "sustainability policy" yang baru. Kemudian proses pembuatan isi "pledge" dalam IPOP khabarnya sering dilaksanakan di rumah Wakil Dubes AS maupun di kantor pribadi Pengurus KADIN Indonesia di Jakarta.

Ini memang merupakan target dari kedua pemerintahan itu, terbukti penandatangan IPOP dilakukan di New York atas biaya Norwegia. Bila dilacak lebih detail, dana kampanye-kampanye NGO terhadap perusahaan "signatories" bersumber dari "Norway Rainforest Foundation" yang sebagian besar diperoleh dari Pemerintah Norwegia.

Kebijakan tersebut menimbulkan reaksi di lapangan, karena kriteria HCS tidak diatur dalam regulasi Indonesia dan perusahaan pemasok dihukum, padahal sudah menjalankan regulasi Indonesia.

Beberapa perusahaan supplier memilih mengikuti kebijakan perusahaan signatories, tetapi beberapa yang lain tidak bisa menerima kenapa perusahaan signatories tidak mau membeli, padahal perusahaan supplier melakukan pembukaan kebun sesuai regulasi Indonesia.

Kesimpulannya adalah bahwa kekuatan anti-palm oil yang disponsori oleh negara Barat penghasil minyak nabati pesaing sawit terus melakukan upaya tekanan dengan target menghentikan ekspansi sawit dan menekan daya saing sehingga komoditas sawit menjadi tidak kompetitif, bahkan kemudian mati pada akhirnya.

Oleh karena itu dalam hal ini Negara perlu mengambil alih praktek yang dianggap merugikan perdagangan minyak sawit Indonesia, mengingat 80 persen perdagangan sawit Indonesia dikuasai oleh perusahaan signatories IPOP.

Selain itu Komisi IV DPR (yang membidangi pertanian dan kehutanan) perlu segera memanggil Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk membicarakan masalah yang sangat krusial bagi perkembangan industri sawit Indonesia itu.

*Penulis, Direktur Pemberitaan LKBN Antara

Oleh Aat Surya Safaat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016