"Saya rasa wajar jika terjadi banyak pandangan, terjadi kontroversi, ada yang menolak dan ada yang mendukung hal itu normal bagi bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak lapisan masyarakat," kata Ramos Horta, saat diwawancarai wartawan, di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, di belahan dunia mana pun, bahkan Amerika Serikat yang telah lama mendukung sistem demokrasi sejak lama, juga akan bungkam ketika dibahasa masalah sensitif seperti perbudakan.
Perwakilan PBB untuk Perdamaian di Guinea-Bissau (UNIOGBIS) ini mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang berani membicarakan luka lama bangsanya.
"Memutuskan untuk meninggalkan masa lalu, bukan berarti lupa peristiwa tersebut, tetapi meninggalkan luka dan menatap ke depan," kata dia lagi.
Ia mengatakan saat Timor Leste (dulu Timor Timur) memutuskan berpisah dari Indonesia, dia dikritik oleh berbagai pihak.
"Ya masa transisi sejak lepas Indonesia sangat sulit, saya dikritik oleh berbagai pihak, tetapi Timor Leste berusaha menghadapi masa lalunya. Sejarah itu meski kelam tetap kami ceritakan kepada anak sekolah agar tidak terulang pada masa depan," katanya pula.
Pada era Joko Widodo dan Jusuf Kalla, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM berat yang terjadi di Indonesia, termasuk tragedi 1965-1966 yang memakan korban sekitar 500 ribu jiwa.
Tidak hanya itu, pemerintah juga ingin menyelesaikan kasus HAM yang terjadi di Papua.
Ramos Horta juga diundang oleh Kemenko Politik, Hukum dan Keamanan ke Papua untuk mendengarkan masalah-masalah yang terjadi di Papua.
Dia sempat bertemu Gubernur Jayapura, tokoh masyarakat serta Kapolda Papua pada 2 Mei lalu.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016