Jakarta (ANTARA News) - Direksi LPP (Lembaga Penyiaran Publik) TVRI diusulkan diganti, karena terbukti tidak mampu meningkatkan kinerja lembaga tersebut. Hal itu disampaikan oleh anggota DPR Marzuki Darussman dalam Rapat Dengar Pendapat TVRI dan Komisi I DPR, di Jakarta, Selasa. "Kami minta Dewan Pengawas TVRI segera melakukan pembenahan secara menyeluruh dan menyusun dewan direksi yang baru dalam waktu satu minggu," kata Marzuki selaku anggota Komisi I bidang penyiaran. Ia juga mengatakan Dewan Pengawas harus mengajukan usulan secara tertulis untuk dibahas kembali dalam rapat yang akan diadakan pada satu bulan sejak sekarang. Pernyataan Marzuki itu mendapat sambutan dan tepuk tangan dari "fraksi balkon", yakni sekitar 50 karyawan dan penyiar TVRI yang menyaksikan rapat dengar pendapat tersebut. Di dalam rapat, kebanyakan anggota Komisi mempertanyakan kinerja TVRI yang selama enam bulan terakhir hanya melakukan "re run" atau siaran ulang program-program lama sebanyak 80 persen. Menurut Marzuki, hal itu jelas menunjukkan ketidakmampuan dewan direksi dalam menciptakan program-program baru yang inovatif dan mampu bersaing dengan televisi lain. "Penyiar adalah ikon televisi dan sekarang saya tidak melihat TVRI mempunyai ikon, seperti Tengku Malinda dulu," kata anggota Komisi, Andreas Parera. Sementara Effendy Chorie mengemukakan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik saat ini tidak mencerminkan keterwakilan publik dalam tokoh-tokoh yang diwawancarainya. "Seharusnya figur publik yang dihadirkan itu mewakili publik politik, ekonomi, hukum, dan lainnya yang ada di dalam masyarakat kita," katanya. Rapat Dengar Pendapat TVRI dan Komisi dilakukan sejak stasiun televisi itu resmi menjadi LPP pada tahun lalu. Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I, Tosary Wijaya. Dalam penjelasannya, Direktur Utama TVRI, I Gde Arsana menyatakan pihaknya sedang berupaya melakukan pembenahan, termasuk uaaya-upaya menanggulangi utang TVRI yang mencapai Rp448 miliar. Salah satu kebijakan yang diambil berakibat pada penyusutan jumlah penyiar, dari semula 27 orang menjadi 12 orang. Tidak kurang dari 1.000 karyawan tidak jelas status pekerjaannya. Kebijakan efisiensi SDM itu sendiri, menurut sejumlah penyiar, seperti Dhoni K dan Tia Diran, tidak pernah diberitahukan kapada karyawan maupun penyiar. "Sampai sekarang nasib mereka tidak jelas," kata Dhoni. "Direksi berjanji akan mengadakan dialog, sampai sekarang engga ada tuh," kata Tia. Mereka berdua sama mengatakan karyawan dan penyiar yang mengikuti Rapat Dengar Pendapat mewakili seluruh karyawan yang tidak jelas nasibnya dan menuntut segera terjadi perubahan. (*)
Copyright © ANTARA 2007