Panja DPR RI tentang PP Nomor 78 tahun 2015 telah sepakat bahwa PP tersebut sangat merugikan pekerja,"

Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi IX DPR RI Ansory Siregar menginginkan peraturan pemerintah (PP) seperti PP Nomor 78 tahun 2015 yang terkait dengan pengupahan jangan sampai merugikan kalangan pekerja.

"Panja DPR RI tentang PP Nomor 78 tahun 2015 telah sepakat bahwa PP tersebut sangat merugikan pekerja," kata Ansory dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, PP Nomor 78 harus dicabut sebab tidak sejalan dengan amanat UU Nomor 13 tahun 2003 Pasal 8 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi "para pekerja berhak mendapatkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi".

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga menyoroti penetapan PP yang dinilai telah menghilangkan kebebasan berunding bagi buruh dengan pihak pemberi kerja dan pemerintah.

Sebelumnya, lembaga Persatuan Perjuangan Indonesia menyatakan, pihaknya ingin menata ulang sistem pengupahan nasional antara lain dengan melakukan evaluasi komponen hidup layak (KHL) yang lebih sering serta dengan membentuk Undang-Undang (UU) Perlindungan Buruh.

"Harus ada tata ulang sistem pengupahan sekarang juga. Berlakukan upah layak nasional dan bentuk UU Perlindungan Buruh," ucap Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan Indonesia Adhi Wibowo di Jakarta, Rabu (20/4).

Menurut Adhi Wibowo, evaluasi KHL yang dilakukan setiap lima tahun sekali adalah terlalu lama, begitu pula bila jangka waktu itu dipersingkat menjadi dua atau satu tahun sekali.

Adhi menginginkan agar evaluasi KHL guna menghitung upah minimum pekerja seharusnya diberlakukan secara lebih fleksibel yaitu dengan melihat kondisi perekonomian negara yang berpengaruh di masyarakat.

Hal itu, ujar dia, karena misalnya bila dievaluasi satu tahun sekali maka ketika harga-harga mengalami kenaikan saat ini juga, maka buruh harus menunggu jangka waktu setahun lagi agar mendapatkan kenaikan upah.

Ia mengingatkan bahwa buruh formal di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 40 juta orang sehingga bila terjadi gangguan kerentanan terhadap kondisi para buruh maka juga akan mengganggu aktivitas ekonomi nasional.

Sedangkan aktivis Federasi Perjuangan Buruh Indonesia Azmir Zahara menyatakan, KHL harusnya tidak disesuaikan lima tahun sekali, tetapi sesuai perkembangan ekonomi yang terjadi.

"Kami di Federasi Perjuangan Buruh Indonesia inginnya KHL dikaji per enam bulan sekali," kata Azmir.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016