Muhammad Murdas, warga Suriah asal Daraya, mempunyai delapan anak dan setiap hari dia bekerja sebagai tukang listrik.
Murdas tinggal di salah satu kamp pengungsi terletak di Judaidah Artus. Kamp itu merupakan bekas bangunan sekolah dan saat ini dihuni oleh lebih dari 200.000 jiwa.
Daerahnya kering dan suhunya pada siang hari mencapai 25 derajat celcius.
Bagi Murdas, tempat ini merupakan titik awal untuk membangun kembali kehidupan keluarganya meskipun di tempat yang sangat sederhana.
"Kami sekeluarga sudah tinggal di kamp pengungsi ini selama lima tahun. Alhamdulillah segala kebutuhan hidup dan pelayanan pendidikan, maupun kesehatan tercukupi," ujar Murdas kepada Antara.
Istrinya menjahit dan membuat tas yang terbuat dari kain.
"Sebelumnya saya merupakan seorang pegawai pemerintahan di Daraya, namun saat ini sudah pensiun. Untuk membantu ekonomi keluarga, saya bekerja sebagai tukang listrik dan menjahit. Saya menjual produk ke pasar setempat. Hasilnya digunakan untuk membantu membeli kebutuhan hidup sehari-hari," kata dia.
Murdas mengungkapkan pemerintah setempat memberikan pelayanan pendidikan maupun kesehatan gratis.
"Anak-anak kami mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah. Kami pun diberikan layanan kesehatan dengan gratis. Saat ini anak kami yang ketiga sedang menempuh pendidikan di bangku sekolah menengah atas, sementara yang anak terakhir berumur lima bulan," ujar ayah yang berusia 51 tahun itu.
Ia terpaksa mengungsi ke Judaidah Artus untuk melindungi keluarganya dari ancaman pembunuhan maupun pemerkosaan yang dilakukan oleh kelompok teroris.
Pada November 2012, ada kelompok bersenjata, masuk ke wilayah perkampungan mereka, Daraya.
"Selama ini kami hidup dengan damai. Hingga pada November 2012, tiba-tiba ada kelompok bersenjata yang bukan masyarakat Daraya datang ke kampung halaman kami. Mereka melepaskan rentetan peluru kepada penduduk Daraya. Sebagian dari mereka terbunuh dan yang lainnya berhasil menyelamatkan diri," ujar dia dengan tatapan kosong.
Sambil menahan linangan air mata, ujar Murdas, keluarganya termasuk dari sebagian warga Daraya yang berhasil menyelamatkan diri.
"Saya lari ketakutan dan tidak sempat membawa barang-barang kami. Saya hanya memikirkan keselamatan anggota keluarga kami," ujar Murdas.
Setelah menempuh perjalanan sepanjang tiga kilometer, mereka sampai di lokasi pengungsian yang terletak di Judaidah Artus.
"Saya memilih Judaidah Artus karena wilayahnya paling dekat dan merupakan daerah yang aman karena dilindungi oleh tentara-tentara pemerintah yang bersenjata lengkap," ujar dia.
Murdas mengatakan selama lima tahun hidup di tempat pengungsian ia tidak mengetahui keadaan rumahnya.
"Saya ingin kembali ke rumah saya di Daraya kalau sudah aman. Saya berharap bisa kembali ke kampung halaman saya dengan membawa seluruh anggota keluarga," kata dia.
Sementara itu Kepala Distrik Judaidah Artus Ziyad Murobbiyah mengatakan para pengungsi berdatangan ke Artus untuk mencari tempat perlindungan dari serangan teroris yang menduduki kampung halaman mereka.
Ziyad mengungkapkan sebagian besar pengungsi berasal dari Daraya karena wilayah itu dekat dengan Judaidah Artus. Namun, ada juga pengungsi yang berasal dari Homs, Raqqa, Aleppo maupun Deir Ezzor.
"Para pengungsi mulai berdatangan sejak November 2012, mereka berasal dari Homs, Daraya. Hingga saat ini masih ada yang berdatangan dari Deir Ezzor yang berjarak 500 kilometers dari Judaidah Artus. Di daerah asalnya, mereka banyak yang bekerja di bidang pertanian, pedagang dan sebagaian lainnya merupakan pegawai negeri. Mereka menggunakan bus bagi yang jaraknya jauh sedangkan yang lain berjalan kaki karena jaraknya dekat," kata dia.
Ia mengatakan bantuan untuk para pengungsi berasal dari lembaga kemanusiaan Hilal Ahmar Suriah dan organisasi kemanusiaan internasional lainnya.
Lembaga kemanusiaan tersebut menyalurkan makanan beserta logistik berupa pakaian, pampers, selimut, perlengkapan tidur dan lain sebagainya.
"Selain bantuan berupa materi diberikan bantuan penyuluhan dan pendidikan yang baik, seperti ketrampilan menjahit, dan bantuan psikologi bagi pengungsi agar bisa bertahan hidup," kata dia.
"Tingkat kriminalitas di Artus minim sekali meskipun penduduk di sini padat," kata dia.
Sumber pendapatan Judaidah Artus berasal dari pertanian terutama zaitun dan gandum. Hasil pertanian tersebut untuk memenuhi kebutuhan lokal dan tidak diekspor.
"Mayoritas pengungsi berasal dari perempuan dengan perbandingan 4:1. Jadi perempuannya lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki sedikit karena ada yang terbunuh saat menjadi tentara pemerintah Suriah serta sebagian dari mereka bergabung ke kelompok teroris seperti ISIS, Al-Nusra, Jaiz Islami dan FSA (Free Syrian Army)," kata dia.
Penduduk di Judaidah Artus terdiri dari berbagai macam aliran agama seperti Syiah, Kristen, Alawite maupun Sunni.
"Mereka dapat hidup rukun dan harmonis selama ini. Tidak ada konflik sekte seperti yang diberitakan oleh media barat," ujar dia.
Oleh Azis Kurmala
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016