Jakarta (ANTARA News) - Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk mengantisipasi TKI yang bekerja di luar negeri terlibat ISIS, seperti TKI yang bekerja di Korsel.
"Saat ini sudah ada TKI yang dideportasi dari Korsel karena diduga bergabung dengan organisasi ISIS. Sebagai keseriusan BNP2TKI melakukan pencegahan paham radikalisme di kalangan TKI, kami menggandeng BNPT," kata Kepala BNP2TKI Nusron Wahid dalam keterangannya dari Korsel, Sabtu.
Dalam kunjungannya di Korsel, Nusron mengimbau para TKI di Korea Selatan tidak mudah dihasut untuk membenci Pancasila atau menggugat konsep negara kesatuan karena Indonesia merupakan negara plural dan heterogen. Dalam kaitan ini masjid dan musala diharapkan menjadi penyaring bagi munculnya pandangan-pandangan serupa itu.
Nusron melakukan kunker dalam rangka sosialisasi di Korea Selatan yang dilaksanakan 29 April sampai dengan 1 Mei 2016. Kegiatan dilaksanakan di dua tempat, yakni di Busan dan Ansan.
Dialog itu diadakan Islamic Centre Musholla Al-Barokah, Busan, pada hari Jumat (29/4) dihadiri perwakilan Komunitas Muslim Indonesia, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama, Buruh Migran Indonesia serta pengurus masjid dan musala WNI.
Dialog itu, menurut Nusron, menarik minat peserta untuk lebih antisipatif terhadap masuknya paham-paham ekstrem ke dalam lingkungan mereka.
Hadir pula pada kesempatan ini K.H. Ah Nadhif sebagai perwakilan PBNU, Indra Wijayanto (Kepala Indonesia Trade Promotion Centre), beberapa staf perwakilan KBRI di Korea, dan Bank BNI Korea.
Nusron menjelaskan bahwa saat ini banyak TKI dan WNI di Korsel yang tergabung dalam Komunitas Muslim Indonesia (KMI) di Korsel. Masjid itu tersebar di dua zona; Kawasan Selatan Busan-Kimhae sebanyak 18 masjid dan Kawasan Utara di Ansan sebanyak 24 masjid.
Di Korea saat ini setidaknya ada 40.000-an TKI yang tersebar di berbagai kota dan bekerja di berbagai bidang. Umumnya mereka tergolong tenaga kerja yang memiliki kecakapan. Bekerja di sektor-sektor formal, seperti pabrik produk elektronika, pengelasan, manufaktur, dan pertanian.
Menurut catatan Komunitas Muslim Indonesia (KMI), ada 40-an masjid dan musala yang menjadi pusat peribadatan dan berkumpul para TKI.
"Pada bulan Januari lalu, tiga TKI ditangkap karena diduga menjadi anggota Islamic State," ujarnya.
Sejalan dengan perkembangan itu, para pejabat bekerja sama dengan Badan Nasional Pencegahan Terorisme (BNPT) mencegah masuknya paham-paham ekstrem ke dalam lingkungan TKI.
Memakmurkan Tempat Ibadah
Dalam paparannya, Kepala BNP2TKI mengingatkan pentingnya menjaga masjid dan musala agar tetap dalam koridor keislaman yang ramah yang sesuai dengan keindonesiaan.
"Pengurus masjid dan musala harus punya filter dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan sehingga tempat ibadah tidak menjadi sarana rekrutmen teroris, terutama kepada TKI yang mudah dipengaruhi karena jauh dari keluarga dan komunitas kegamaan dengan bekal ilmu yang cukup," ujarnya.
Nusron juga menyampaikan kegelisahannya akan fungsi masjid yang dianggap hanya sebagai tempat salat. Mengingat masjid selain sebagai sarana keselamatan dalam beragama, juga harus menjadi pusat kebugaran, tempat pengembangan ilmu dan SDM, gerakan kemandirian ekonomi, dakwah, dan kepedulian sosial kepada sesama.
"Saya berharap masjid dan musala WNI di Korea, bisa menjadi sarana konsolidasi teman-teman TKI untuk mengembangkan diri dan mempersiapkan wadah kemandirian ekonomi ketika nanti pulang ke Indonesia. Membantu jika ada TKI yang meninggal, sembari proses klaimnya diurus, bisa dulu kebutuhan-kebutuhannya ditalangi masjid atau komunitas muslim Indonesia di Korea, ini namanya wa rahmatan indal maut. Itu semua semata-mata supaya orang itu merasa saling perduli, punya pengetahuan, dan sejahtera hingga paham radikalisme pun akan sulit masuk," tuturnya.
Direktur Perlindungan, Deputi I BNPT, Brigjen Pol. Herwan Chaidir pada kesempatan yang sama mengatakan bahwa tindak terorisme dan separatisme di Indonesia sejak 1981 sampai 2016 disebabkan pemahaman keagamaan yang dangkal, penyebaran radikalisme melalui pengajar-pengajar di musala dan masjid, pembelajaran agama yang autodidak, dan lemahnya pengawasan lingkungan.
"Selain itu, juga karena masalah-masalah pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik," ungkapnya.
Ia juga mengajak pengurus masjid dan musala untuk melakukan koordinasi dengan BNPT dan BNP2TKI jika akan mengundang dai-dai dari Indonesia, jangan sampai yang diundang adalah ustaz-ustaz yang mengajarkan beragama dengan ekstrem.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016