Banda Aceh (ANTARA News) - Putusan Pengadilan Negeri Kutacane yang mengabulkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) bupati/wakil bupati ulang di Kabupaten Aceh Tenggara, tidak mengikat, karena hanya bersifat pernyataan.
"Kalau kita perhatikan putusannya, maka sifatnya hanya sekedar pernyataan (deklarator) bukan bersifat perintah untuk dilaksanakan pilkada ulang," kata Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh, Hj Faridah Hanoum, SH di Banda Aceh, Selasa.
PN Kutacane melelaui penetapan No.01/Pdt.P/2007/PN-KC, 25 Januari 2007 yang ditandatangani Hakim Ketua PN Kutacane, Henky Hendi Adjaja SH MM, mengabulkan permohonan KIP untuk melaksanakan pemungutan suara ulang pilkada bupati/wakil bupati Aceh Tenggara.
Faridah yang didampingi Humasnya, Yasrin N Nasution, SH menyatakan, keputusan hakim PN Kutacane tersebut tidak ada implikasi hukumnya, sehingga sulit untuk dijadikan dasar hukum untuk pilkada ulang.
Ketika ditanya apakah putusan PN Kutacane itu sesuai prosedur, Farida menyatakan, PT tidak bisa ikut campur dengan keputusan tersebut, karena hak otonom PN Kutacane.
"Meskipun PT merupakan pengawas PN, namun masalah putusan PN, PT tidak bisa mengganggu gugat," ujarnya.
Putusan PN Kutacane tersebut menjadi tanda tanya masyarakat, karena yang berhak mengadili dan memutuskan perkara pilkada adalah Mahkamah Agung melalui PT Aceh.
Pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Mawardi Ismail, SH, mengatakan, apabila terjadi sengketa Pilkada sudah ada aturan yang diatur dalam Qanun (Perda) No.2/2004 tentang Pilkada Aceh yang telah diperbaiki terakhir dengan Qanun No.7 Tahun 2006.
Di dalam Qanun tersebut dikatakan, kalau sengketa mengenai hasil itu diajukan ke Mahkamah Agung, dan kalau sengketa lain-lain semisal adanya indikasi pelanggaran, itu tergantung kepada jenis pelanggarannya.
"Jadi tidak ada kewenangan PN untuk menetapkan sesuatu tentang Pilkada itu. Saya kira PT punya kewenangan mengawasi dan termasuk menanyakan kepada PN Kutacane mengapa melakukan hal tersebut (putusan di luar kewenangan)," katanya.
Mawardi juga mengatakan, akan sangat bijaksana kalau orang-orang yang berkeberatan terhadap persoalan itu mengajukan gugatan kepada PT atau MA, agar nanti ada kepastian hukum, apakah yang dilakukan oleh PN itu bisa dibenarkan atau tidak.
Ketua KIP NAD, M Jafar mengatakan, isi penetapan tersebut setelah dipelajari ternyata tidak sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku untuk Pilkada, maupun Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres).
Menyangkut sengketa Pilkada di Aceh Tenggara, khususnya Pilkada bupati/wakil bupati setempat, yang sampai saat ini belum ada penetapan dari KIP, berarti tidak ada keberatan. Sebab, menurut aturan, keberatan tersebut diajukan setelah ada penetapan hasil Pilkada.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007