(Uang dari) kumpulan dari bermacam-macam kasus, itu yang sedang diteliti. Jumlah uangnya itu kasus A berapa, kasus B berapa itu sedang diteliti."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menyita Rp1,7 miliar dari rumah Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi terkait penyidikan dugaan pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan permohonan Peninjauan Kembali yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Berkaitan dengan penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik KPK terkait suap pengajuan permohonan PK yang didaftarkan di PN Jakpus, penyidik menyita uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing dengan nilai total Rp1,7 miliar," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di gedung KPK Jakarta, Rabu.
KPK pada 21 April telah menggeledah rumah Sekretaris MA Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, serta kantor Nurhadi di gedung MA.
Rincian uang tersebut adalah 37.603 dolar AS yaitu Rp496.923.850; 85.800 dolar Singapura atau Rp837.281.425; kemudian 170 ribu Yen Jepang atau senilai Rp20.244.675; kemudian 7.501 riyal Arab Saudi atau sejumlah Rp26.433.600; 1.355 euro atau sejumlah Rp19.912.550 dan Rp354.300.000.
"Uang sedang diselidiki dan Pak Nurhadi juga belum diperiksa, apakah akan melibatkan PPATK itu tergantung pada kebutuhan penyidik," tambah Yuyuk.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan bahwa uang tersebut terkait dengan perbuatan pidana sejumlah kasus.
"(Uang dari) kumpulan dari bermacam-macam kasus, itu yang sedang diteliti. Jumlah uangnya itu kasus A berapa, kasus B berapa itu sedang diteliti," kata Laode M Syarif.
Namun KPK belum dapat menentukan sumber uang tersebut.
"Belum tentu (satu sumber) juga, itu yang sedang dipelajari, itu yang bisa kami sampaikan di sini bahwa identifikasi itu sudah ada di satu holding yang itu," ungkap Laode.
Satu holding yang dimaksud adalah kelompok bisnis Lippo Grup karena salah satu perkara yang diduga terkait adalah sengketa antara PT Direct Vision yang merupakan bagian dari Lippo Group dengan Grup Astro, korporasi yang berasal dari Malaysia dan Belanda.
Kedua kelompok bisnis itu pecah kongsi dan masuk ke pengadilan arbitrase Singapura International Arbitration Center (SIAC) dengan putusan Grup Lippo harus membayar ganti rugi 230 juta dolar AS dan Rp6 miliar ke Astro All Asia Network Plc.
Namun atas putusan itu Lippo Group mengajukan pembatalan putusan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tapi kalah hingga tingkat kasasi sehingga Lippo pun mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Menurut informasi yang dihimpun, uang untuk Edy diberikan agar Lippo Grup dapat mengajukan PK terhadap putusan kasasi arbitrase di MA, padahal pengajuan PK tidak dapat dilakukan. Sedangkan Nurhadi juga diduga menerima uang untuk mengamankan sejumlah gugatan yang diajukan oleh perusahaan tersebut di MA.
KPK melakukan OTT pada Rabu (20/4) di hotel Accacia Jalan Kramat Raya Jakpus dan mengamankan panitera/sekretaris PN Jakpus Edy Nasution dan seorang swasta Doddy Aryanto Supeno. Penangkapan dilakukan seusai Doddy memberikan uang Rp50 juta kepada Edy dari komitmen seluruhnya Rp500 juta terkait pengurusan perkara di tingkat PK di PN Jakpus.
KPK menetapkan dua tersangka yaitu Edy Nasution dengan sangkaan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tengan penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sebagai pemberi suap adalah Doddy Aryanto Supeno dengan sangkaan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016