Jakarta (ANTARA News) - Panitia Kerja Perfilman DPR RI merekomendasikan tiga hal kepada Pemerintah yakni perbaikan kelembagaan film nasional, membuka diri terhadap investasi asing, serta merevisi UU No 33 tahun 2009 tentang Perfilman.
"Ketiga rekomendasi tersebut kesimpulan dari aspirasi dan masukan yang dihimpun dari para pemangku kepentingan perfilman nasional dalam RDP (rapat dengar pendapat) maupun RDPU (rapat dengar pendapat umum) di Komisi X DPR RI," kata Ketua Panja Perfilman, Abdul Haris kepada pers di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.
Pada kesempatan tersebut hadir Ketua Komisi X DPR RI Tengku Rifki Harsya (FPD), dan anggota Panja Perfilman yakni Ferdiansyah (FPG), Venna Melinda (FPD), serta Maman Wijaya dari Pusbangfilm Kemendikbud RI.
Menurut Abdul Haris, perbaikan kelembagaan adalah perbaikan kebijakan Pemerintah yakni penyelarasan dan sinergitas dalam tugas dan fungsi empat lembaga perfilman nasional meliputi, Badan Perfilman Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif, Pusat Pengembangan Film Kemendikbud RI, dan Lembaga Sensor Film (LSF).
"Dengan selaras dan sinerginya empat lembaga perfilman nasional, maka dapat menjaga kualitas produksi film nasional yang diminati masyarakat," katanya.
Haris menambahkan, masing-masing lembaga memiliki batasan tugas pokok dan fungsi yang saling bersinergi seperti diatur dalam aturan perundangan, terutama UU Perfilman.
Badan Perfilman diatur dalam UU perfilman, Badan Ekonomi Kreatif diatur dalam Perpres No 6 tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif, Pusat Pengembangan Film berdasarkan Peraturan Pemerintah No 11 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemendikbud RI, serta Lembaga Sensor Film diatur dalam Peraturan Pemerintah No 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.
Rekomendasi kedua, menurut Haris, soal keterbukaan terhadap investasi asing di bidang perfilman sejalan dengan paket kebijakan jilid 10 yang diterbitkan Pemerintah pada pada 11 Februari 2016.
Menurut dia, hal ini berimplikasi pada perubahan aturan mengenai daftar bidang usaha tertutup dan bidang usaha terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal yang disebut sebagai Daftar Negatif Investasi Negatif (DNI).
Haris menegaskan, dalam produksi film nasional harus ada muatan nilai-nilai budaya bangsa, sehingga dapat menuju peningkatan kualitas produksi film Indonesia.
Selain itu, kata dia, dalam setiap produksi film nasional wajib mengutamakan pekerja film Indonesia dan penggunaan pola kerjasama yang tidak merugikan pekerja film, membangun gedung film khususnya di daerah-daerah yang belum memiliki bioskop yang terjangkau rakyat bawah, serta berkewajiban untuk mempromosikan film Indonesia ke luar negeri.
Rekomendasi ketiga, adalah revisi UU Perfilman. Menurut Haris, Panja Perfilman menerima aspirasi tersebut karena UU ini memiliki beberapa kelemahan dalam pengaturan tentang perlindungan dan penghormatan hak cipta film, pendidikan film, tata niaga film, dan penguatan kelembagaan Badan Perfilman Indonesia.
"Panja Perfilman Komisi X DPR mengusulkan akan menyusun revisi UU Perfilman sebagai RUU usul inisiatif DPR RI dalam Prolegnas 2016-2019," katanya.
Menurut dia, sambil menunggu proses revisi dan untuk merespon aspirasi para pemangku kepentingan perfilman, maka Panja Perfilman meminta Pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) yang berpihak kepada kepentingan nasional, seperti penetapan kegiatan dan usaha film, mengutamakan film Indonesia, dan menggunakan sumber daya manusia dalam negeri, dan sebagainya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016