Persoalannya kan tidak berhenti, jadi terus kita lihat. Kasus ini memang merupakan salah satu dari temuan KPK, dan dalam penanganan sebuah kasus itu rangkaiannya banyak."

Mataram (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap menelusuri pernyataan mantan Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana sebagai saksi dalam sidang kasus suap dan gratifikasi pembahasan APBN Perubahan tahun 2013 untuk Kementerian ESDM.

"Persoalannya kan tidak berhenti, jadi terus kita lihat. Kasus ini memang merupakan salah satu dari temuan KPK, dan dalam penanganan sebuah kasus itu rangkaiannya banyak," kata Ketua KPK Agus Rahardjo yang ditemui usai kegiatan koordinasi dan supervisi (korsup) di sektor energi tahun 2016 di Hotel Santosa Senggigi, Rabu.

Mantan Ketua Komisi VII Bidang Energi DPR RI itu mendesak KPK untuk mengusut sejumlah nama anggota dewan yang diduga menerima suap dan gratifikasi pembahasan APBN Perubahan tahun 2013, terkait SKK Migas dan Kementerian ESDM.

Desakan itu pun mendapat dukungan dari daerah, salah satunya pernyataan yang dilontarkan Wakil Ketua DPW PAN NTB H Ali Ahmad yang menegaskan bahwa KPK perlu membuktikan kesaksian Sutan Bhatoegana dalam sidang di Jakarta beberapa waktu lalu.

Karena, salah satu dari 43 anggota dewan yang disebutkan Sutan Bhatogana, ada kader PAN asal NTB yang kini duduk di DPR RI dan pernah menduduki jabatan sebagai anggota Komisi VII DPR RI, yaitu Muhammad Syafrudin.

"Andaikan ini benar seperti yang disebut di pengadilan, saya sebagai sesama kader sangat kecewa. Bahkan, hingga hari ini saya tidak percaya 43 anggota Komisi VII DPR RI disebut terlibat," jelas Ketua Komisi I DPRD NTB itu.

Bahkan, selain Muhammad Syafrudin, yang disebut sebagai kader terbaik PAN asal NTB. Ada juga salah satu putra daerah dari kader PDI Perjuangan yang juga pernah duduk di Komisi VII DPR RI, yaitu Rachmat Hidayat.

Keterlibatan dua putra daerah asal NTB ini, disebut telah menerima suap dan gratifikasi saat Komisi VII DPR RI masih dimotori Sutan Bhatoegana, yang kini harus menjalani vonis pengadilan selama 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair satu tahun kurungan.

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016