"Misalnya ada panen raya kedelai di Aceh. Lalu kita datang ke Aceh. Estimasi dari BPS akan mendapatkan panen kedelai misalnya 1.000 atau 2.000 ton, tapi ternyata hasilnya hanya 20 ton," ujar Aip saat dihubungi pers di Jakarta, Senin.
Kondisi semacam itu, kata Aip, hampir terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Dia menyebut seperti di Bantul, Grobogan, Sampang, Madura, Palembang, Lampung serta daerah lainnya yang menjadi sentra penghasil kedelai.
Aip mengaku tak mengerti mengapa ada selisih antara data dan fakta yang ada di lapangan. Ia hanya diberitahu oleh pemerintah bahwa di daerah itu akan panen sekian ribu ton sehingga membuat pihaknya sering datang ke lokasi panen tersebut.
"Tapi fakta yang diberikan tidak benar. Soal mengapa hasilnya cuma segitu atau petani tidak menikmati, kami tidak tahu. Karena sebagai pembeli, kami hanya membeli barang yang ada," ujarnya.
Sementara itu pada tahun lalu kebutuhan kedelai nasional tercatat sebanyak 1,5 juta ton. Ketersediaan lahan yang digunakan untuk menanam kedelai makin sempit membuat suplai kedelai menjadi sangat sulit sehingga menyebabkan harga sering kali mengalami fluktuasi.
Saat ini harga kedelai per kilogramnya Rp 6.100. Harga tersebut turun dibandingkan tahun sebelumnya. Namun pada saat pembatasan impor kedelai dan jagung untuk pakan ternak pada pertengahan tahun lalu ternyata sempat membuat kenaikan harga kedelai.
Disinggung mengenai pembatasan impor kedelai, Aip meminta sebaiknya sebelum mengesahkan peraturan maka harus dipersiapkan dahulu instansi yang memegang kendali. Dalam kebijakan impor tersebut dia sangat berharap pemerintah jangan bersikap langsung bertindak berdasarkan data dengan akurasi yang dipertanyakan.
''Jangan dilupakan harus ada sinergi antara pemerintah, importir, serta pengusaha tahu dan tempe,'' katanya.
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016